Sabtu, 20 November 2010

TAWADU

1. Rendah hati (tawadhu) adalah suatu kenikmatan yang tidak dimengerti oleh orang yang dengki.
2. Sombong terhadap orang-orang yang sombong adalah tawadhu itu sendiri.
3. Rendah hati termasuk salah satu cara mendapatkan kemuliaan.
4. Rendah hati membawa kepada keselamatan.
5. Tidak ada nasab (yang lebih mulia) seperti rendah hati.
6. Buah dari rendah hati adalah (mendapatkan) kecintaan.
7. Kerendahhatian seseorang di saat dia memiliki kedudukan menjadi perlindungan baginya ketika dia mengalami kejatuhan.
8. Temuilah orang-orang ketika mereka butuh kepadamu dengan keceriaan dan kerendahhatian. Maka, jika engkau terkena suatu musibah dan keadaan buruk menimpamu, lalu engkau bertemu dengan mereka, maka engkau telah aman dan terlepas dari bahaya kehinaan karena kerendahhatianmu itu.
9. Orang-orang golongan atas, jika mereka terdidik, mereka rendah hati; dan jika mereka menjadi miskin, mereka menyerang.
10. Imam ‘Ali a.s. berkata kepada seseorang yang memuji-mujinya secara berlebihan, sementara kesetiaannya kepada beliau diragukan, “Aku tidak seperti yang kaukatakan, dan ‘di atas’ apa yang engkau sembunyikan di dalam hatimu.”
11. Orang yang rendah hati seperti jurang yang di dalamnya berhimpun air hujan dan air hujan lainnya, sedangkan orang yang sombong seperti bukit yang tidak menetap di dalamnya air hujannya dan air hujan yang lainnya.
12. Jika engkau telah melakukan segala sesuatu, maka jadilah seperti orang yang tidak melakukan apa pun.

DZIQIR MENEMBUS LANGIT

Dzikirlah kepada-Ku, niscaya Aku akan dzikir kepadamu.(Q.s. Al Baqarah: 152).
“Wahai orang-orang yang beriman, berdzikirlah kepada Allah dengan dzikir yang sebanyak-banyaknya.” (Q.s. Al Ahzab: 41)
“Ahli dzikir kepada-Ku adalah teman duduk-Ku.” (Hadis Qudsy yang diriwatatkan HR. Ahmad)
“Siapa yang ingin bersenang-senang ditaman syurga, perbanyaklah dzikir.” (HR.Thabrani)

Keselamatan memiliki empat bagian, yang sembilan diantaranya terdapat dalam diam kecuali dari dzikir kepada Allah Taa’la, sedangkan yang satunya lagi terdapat dalam meninggalkan pergaulan dengan orang-orang bodoh. (Ali Bin Abi Thalib)
Orang yang berdzikir kepada Allah ditengah-tengah orang-orang yang lalai berdzikir kepada-Nya seperti pohon yang hijau yang berada ditengah-tengah tanaman yang kering, dan seperti rumah yang berpenghuni diantara reruntuhan rumah. (Ali bin Abi Thalib)
Diantara indera-indera lahiriah, tidak ada yang lebih mulia daripada mata, maka janganlah kamu penuhi semua keinginannya (pandangannya) karena ia akan melalaikan kalian dari dzikir kepada Allah. (Ali Bin Abi Thalib)

Dzikir adalah membebaskan diri dari sikap lalai dan lupa dengan menghadirkan hati secara terus-menerus bersama Allah. Sebagian kalangan mengatakan bahwa dzikir adalah menyebut secara berulang-ulang dengan hati dan lisan nama Allah, salah satu sifat-Nya, salah satu hukum-Nya, atau lainnya, yang dengannya seseorang dapat mendekatkan diri kepada Allah. (Menurut Ibnu Athaillah)
Dzikir adalah lembaran kekuasaan, cahaya penghubung, pencapaian kehendak, tanda awal perjalanan yang benar dan bukti akhir perjalanan menuju Allah. Tidak ada sesuatu setelah dzikir. Semua perangai yang terpuji merujuk kepada dzikir dan bersumber darinya. ( Imam Abu Qasim al Qusyairi)
Dzikir adalah unsur penting dalam perjalanan menuju al Haq. Bahkan, dia adalah pemimpin dalam perjalanan tersebut. Seseorang tidak akan sampai kepada Allah kecuali dia tekun dalam berdzikir. (Imam Abu Qasim Al Qusyairi)

Tidak diragukan bahwa hati dapat berkarat seperti halnya besi dan perak. Dan alat pembersih hati adalah dzikir. Dzikir dapat membersihkannya, sehingga dia menjadi seperti cermin yang bersih. Apabila seseorang meninggalkan dzikir, maka hatinya akan berkarat. Dan apabila dia berzikir, maka hatinya menjadi bersih.Berkaratnya hati disebabkan dua perkara, yakni lalai dan dosa. Dan yang dapat membersihkannya juga dua perkara, yakni istighfar dan dzikir. Barang siapa yang lalai dalam kebanyakan waktunya, maka karat di hatinya akan menumpuk sesuai dengan tingkat kelalaiannya. Apabila hati berkarat, maka segala sesuatu tidak tergambar di dalamnya sesuai dengan faktanya. Dia akan melihat kebatilan dalam bentuk kebenaran, dan melihat kebenaran dalam bentuk kebatilan. Sebab, ketika karat hati itu bertumpuk, hati menjadi gelap, sehingga bentuk-bentuk kebenaran tidak tergambar sebagaimana adanya. Apabila karat hati bertumpuk, maka hati menjadi hitam dan pandangannya menjadi rusak, sehingga dia tidak dapat menerima kebenaran dan tidak dapat mengingkari kebatilan. Inilah siksaan hati yang paling berat. Sumber dari semua itu adalah kelalaian dan mengikuti hawa nafsu. Keduanya menghilangkan cahaya hati dan membutakannya. Allah berfirman dalam surat al Kahfi ayat 28 yang artinya : Dan janganlah engkau mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan keadaannya melewati batas. (Ibnu qayyim Al jauziyah)
Keistimewaan itu terdapat dalam ucapan, perbuatan dan benda-benda. Dan keistimewaan yang paling agung adalah keistimewaan dzikir. Sebab, tidak ada amal anak Adam yang paling dapat menyelamatkannya dari siksa Allah selain dzikir kepada-Nya. Allah telah menjadikan segala sesuatu seperti minuman. Masing-masing memiliki manfaat khusus. Dengan demikian, setiap yang umum dan yang khusus harus diperhatikan sesuai dengan kondisi setiap orang. (Ahmad Zaruq)

Tidak akan terbuka pintu maqam ridla bagi seorang hamba melainkan setelah dia mengerjakan tiga perkara pada fase awal perjalanannya, yaitu :
1. Dia tenggelam dalam nama tunggal (Allah). Dzikir dengan nama tunggal ini hanya khusus bagi orang-orang yang telah mendapat izin dari seorang mursyid kamil.
2. Dia bergaul dengan orang-orang yang berzikir
3. Dia konsisten dalam mengerjakan amal saleh, dan bersih dari noda. Dengan kata lain, dia berpegang teguh pada syariat yang dibawa Nabi Muhammad saw. (Ahmad ibn Ujaibah)

Ada tiga macam dzikir: Dzikir dengan lisan yang memiliki sepuluh kebaikan. Dzikir dengan hati yang memiliki tujuh ratus kebaikan, dan dzikir yang pahalanya tidak ditimbang dan dihitung , yaitu puncak kecintaan kepada Allah serta perasan malu karena kedekatan-Nya. (Ibnu Salim)
Tidak setiap orang yang mengaku berdzikir (mengingat Allah) meski orang ingat (Sahl bin Abdullah)
Makna dzikir adalah mengaktualisasikan pengetahuan, bahwa Allah melihat Anda. Maka dengan hati Anda menyaksikan-Nya dengan dekatdengan Anda dan Anda merasa malu dengan-Nya. Kemudian Anda memprrioritaskan-Nya daripada diri Anda sendiridan seluruh kondisi spiritual Anda. (Sahl bin Abdullah)
Hakikat dzikir adalah melupakan dzikir. Yakni melupakan dzikir Anda kepada Allah SWT. dan melupakan segala sesuatu selain Allah Azza wa Jalla. (Asy-Syibli)
Dzikir adalah tiang penopang yang sangat kuat atas jalan menuju Allah swt. Sungguh, ia adalah landasan bagi tharikat itu sendiri. Tidak seorang pun dapat mencapai Allah swt, kecuali dengan terus-menerus dzikir kepada-Nya. (Abu Ali ad-Daqqaq berkata)
Dzikir adalah tebaran kewalian. Seseorang yang dianugerahi keberhasilan dalam dzikir berarti telah dianugerahi taburan itu, dan orang yang tidak dianugerahinya berarti telah dipecat. (Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq )

Dzikir berarti meninggalkan bidang kealpaan dan memasuki bidang musyahadah mengalahkan rasa takut dan disertai kecintaan yang luar biasa. (al-Wasithy )
Seorang yang benar-benar dzikir kepada Allah akan lupa segala sesuatu selain dzikirnya. Allah akan melindunginya dari segala sesuatu, dan ia diberi ganti dari segala sesuatu. (Dzun Nun al-Mishry )
Seandainya bukan kewajibanku untuk berdzikir kepada-Nya, tentu aku tidak berdzikir karena mengagungkan-Nya. Orang sepertiku berdzikir kepada Allah swt.? Tanpa membersihkan mulutnya dengan seribu tobat karena berdzikir kepada-Nya!” (Muhammad al-Kattany )
Tiada sehari pun berlalu, kecuali Allah swt. berseru, ‘Wahai hamba-Ku, engkau telah berlaku zalim kepada-Ku. Aku mengingatmu, tapi engkau melupakan-Ku. Aku menghilangkan penderitaanmu, tapi engkau terus melakukan dosa. Wahai anak Adam, apa yang akan engkau katakan besok jika engkau bertemu dengan Ku’? (Sahl bin Abdullah)
Seseorang yang tidak dapat merasakan keganasan alpa, tidak akan merasakan sukacita dzikir. (Abu Utsman )
Ada hukuman atas tiap-tiap sesuatu, dan hukuman bagi seorang ahli ma’rifat adalah terputus dari dzikir kepada-Nya.(Ats-Tsaury)
Dzikir berarti tiadanya ingatan pelaku dzikir terhadap dzikirnya. (Dzun-Nun)
Dzikir dengan lidah tana dirasakan oleh hati-itulah dzikir yang biasa; dzikir dengan lidah yang disertai oleh hati-itulah dzikir yang meraih pahala; dan dzikir bilah hati mengembara dalam ingatan dan meninggalkan lidah dalam diam, nilai dzikir semacam itu hanya dikethui oleh Allah SWT. (al Kharraz)
Barangsiapa yang ingat akan dzikir-Nya lebih lalai ketimbang yang lupa akan dzikir-Nya. (Abu Bakar al Wasiti)
Carilah kemanisan dalam tiga hal: shalat, dzikir dan membaca Al-Qur’an. Kemanisan hanya dapat ditemukan di sana, atau jika tidak sama sekali, maka ketahuilah bahwa pintu telah tertutup.(Abu Sulaiman ad-Dar).

Syekh Abul Hasan Syadzily

Syekh Abul Hasan Syadzily
Beliau r.a. berkata: Ilmu-ilmu ini adalah benteng-benteng dan penjelasan terhadap posisi-posisi jiwa, bersitan-bersitan, tipu dayanya, dan kehendaknya, serta memutus hati dari memperhatikan, bersantai, dan bertenteraman (dengan ego) di atas jalan tauhid dan syariat dengan kemurnian cinta dan keikhlasan agama dengan sunah.
Mereka mempunyai beberapa tambahan dalam maqam-maqam keyakinan dari zuhud, sabar, harap, takut, tawakal, ridha, dan lain-Iainnya yang termasuk maqam-maqam yakin. Inilah jalan orang-orang yang menuju (kepada Allah) dalam metode interaksi.

Adapun ahlullah dan hamba-hamba istimewa-Nya, maka mereka adalah kaum yang ditarik Allah dari kejahatan dan pangkal-pangkalnya. Dia pekerjakan mereka kepada kebaikan dan cabang-cabangnya. Dia limpahkan kecintaan khalwat pada mereka, dan Dia buka jalan munajat bagi mereka. Sehingga Dia mengenalkan diri-Nya lantas mereka mengenal-Nya. Dia menumbuhkan cinta pada mereka, maka mereka mencintai-Nya. Dan Dia Yang Menunjukkan jalan, lalu mereka menempuhnya. Jadi, mereka senantiasa dengan-Nya serta untuk-Nya. Dia tidak membiarkan mereka untuk selain-Nya dan tidak mendinding mereka dari-Nya. Bahkan, mereka terdinding dengan-Nya dari selain-Nya, tidak mengenal selain-Nya, dan tidak cinta kecuali kepada-Nya. “Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal” (QS Az-Zumar 39;18).

Hakikat Jalan (Tasawuf)
Jalan ini tidak ditempuh dengan kerahiban, makan gandum, kulit padi, maupun sisa produksi. Akan tetapi, dengan kesabaran dan keyakinan dalam petunjuk. Allah SWT berfirman, “Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar (dalam menegakkan kebenaran) dan adalah mereka meyakini ayat-ayat kami, Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang memberikan keputusan di antara mereka pada hari Kiamat tentang apa yang selalu mereka perselisihkan padanya.” (QS. As-Sajadah [32]: 24-25)

Dan, pelabuhan ini sungguh mulia, padanya lima perkara: sabar, takwa, wara’, yakin, dan makrifat. Sabar apabila disakiti, takwa dengan tidak menyakiti, wara’ terhadap yang keluar masuk dari sini —dan dia menunjuk mulutnya— dan pada hati, bahwa tidak menerobos ke dalamnya selain apa yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya, juga keyakinan dalam rezeki, dan makrifat terhadap al-Haqq yang tidak akan hina seseorang bersamanya kepada siapa pun dari makhluk. “Bersabarlah (hai Muhammad) dan Tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS, An-Nahl [16]: 127-128).

Hakikat orang yang berakal
Beliau r.a. berkata: Orang yang berakal adalah orang yang mengerti tentang Allah, apa-apa yang Dia kehendaki atasnya dan apa yang berasal darinya secara syariat. Dan, yang Allah inginkan dari hamba itu ada empat: adakalanya nikmat atau cobaan, ketaatan atau kemaksiatan.
Apabila kamu berada dengan nikmat, maka Allah menuntut syukur darimu secara syariat. Apabila Allah menghendaki cobaan bagimu, maka Dia menuntut kesabaran darimu secara syariat. Jika menghendaki ketaatan darimu, maka Allah menuntut darimu kesaksian terhadap anugerah dan memandang taufik secara syariat. Dan, jika menghendaki kemaksiatan darimu, maka Allah menuntut darimu tobat dan kembali kepada-Nya dengan penyesalan secara syariat.

Siapa yang mengerti empat perkara ini dari Allah dan melakukan apa yang Allah cintai darinya secara syariat, maka dia adalah hamba yang sebenar-benarnya. Dalilnya adalah sabda Nabi SAW, “Siapa yang apabila diberi lantas ia bersyukur, jika ditimpa cobaan dia bersabar, menzalimi lalu meminta ampun, dan dizalimi lalu memaafkan,” Kemudian, beliau berdiam. Para sahabat bertanya, “Apa, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Merekalah yang mendapatkan keamanan dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” Demikian juga dalam ungkapan sebagian mereka, “Tidak pernah gampang hal itu kecuali bagi seorang hamba yang mencinta. Dia tidak mencintai kecuali karena Allah semata atau mencintai apa yang Allah perintahkan sebagai syariat agamanya.” Wassalam.

Beliau r.a. berkata: Terdapat di sebagian khabar, “Siapa yang taat kepada-Ku dalam segala sesuatu dengan meninggalkan segala sesuatu, niscaya Aku memperkenankannya dalam setiap sesuatu; bahwa Aku ber-tajalli kepadanya pada setiap sesuatu hingga dia melihat-Ku seakan-akan Aku adalah segalanya.” Inilah ketaatan yang terdapat pada hak awam orang-orang yang saleh.

Adapun ketaatan pada hak khawdsh dari kalangan shiddiqin adalah dengan ‘keputusasaan’ dari mereka dengan menghadap kepada segala sesuatu karena bagusnya kehendak Tuhan mereka pada setiap sesuatu. Maka, seolah-olah Dia berkata, “Siapa yang taat kepada-Ku atas segala sesuatu dengan menghadap pada segala sesuatu karena bagusnya kehendak-Ku pada setiap sesuatu, bahwa Aku ber-tajalli kepadanya pada setiap sesuatu hingga dia melihat-Ku seakan-akan Aku lebih dekat kepadanya dari segala sesuatu.

Jumat, 25 Juni 2010

syeh Syamsudin Asumatrani

Sufi Legendaris dari Nangroe Aceh
Sejak lama Aceh telah dikenal sebagai satu-satunya daerah yang aksentuasi keislamannya paling menonjol. Selain menonjolnya warna keislaman dalam kehidupan sosio-kultur di sana, ternyata di Serambi Mekah ini pernah tersimpan pula sejumlah Sufi ternama semisal Samsuddin Sumatrani.

Syamsuddin Sumatrani adalah salah satu tokoh sufi terkemuka yang telah turut mengguratkan corak esoteris pada wajah Islam di Aceh. Sayangnya perjalanan hidup sang sufi ini sulit sekali untuk dirangkai secara utuh. Hal ini selain karena tidak ditemukannya catatan otobiografisnya, juga karena langkanya sumber-sumber akurat yang dapat dirujuk.

Bahkan tidak kurang peneliti seperti Prof. Dr. Azis Dahlan yang pernah mengadakan penelitian untuk disertasinya, merasa kesulitan dengan langkanya sumber-sumber mengenai tokoh sufi yang satu ini. Diantara sumber tua yang dapat dijumpai mengenai potret Syamsuddin Sumatrani adalah Hikayat Aceh, Adat Aceh, dan kitab Bustanu al-Salathin. Itupun tidak memotret perjalanan hidupnya secara terinci. Meski demikian, dari serpihan-serpihan data historis yang terbatas itu kiranya cukuplah bagi kita untuk sekedar memperoleh gambaran akan kiprahnya berikut spektrum pemikirannya.

Mengenai asal-usulnya, tidak diketahui secara pasti kapan dan di mana ia lahir. Perihal sebutan Sumatrani yang selalu diiringkan di belakang namanya, itu merupakan penisbahan dirinya kepada “negeri Sumatra” alias Samudra Pasai. Sebab memang di kepulauan Sumatra ini tempo doeloe pernah berdiri sebuah kerajaan yang cukup ternama, yakni Samudra Pasai. Itulah sebabnya ia juga adakalanya disebut Syamsuddin Pasai.

Menurut para sejarawan, penisbahan namanya dengan sebutan Sumatrani ataupun Pasai mengisyaratkan adanya dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, orang tuanya adalah orang Pasai (Sumatra). Dengan demikian maka bisa diduga bahwa ia sendiri dilahirkan dan dibesarkan di Pasai. Jika pun ia tidak lahir di Pasai, maka kemungkinan kedua bahwa sang ulama terkemuka pada zamannya ini telah lama bermukim di Pasai bahkan ia meninggal dan dikuburkan di sana.

Berbicara tentang peranan Sumatra sebagai pusat pengajaran dan pengembangan Islam, Negeri Pasai itu memang lebih dahulu terkemuka daripada Banda Aceh. Paling tidak Samudera Pasai lebih dulu terkemuka pada kisaran abad ke-14 dan 15 M, yakni sebelum akhirnya Pasai dikuasai oleh Portugis pada tahun 1514. Sementara beralihnya tampuk kekuasaan Negeri Pasai kepada Kerajaan Aceh Darussalam baru berlangsung pada tahun 1524.

Peranan dan Pengaruhnya
Pada masa pemerintahan Sayyid Mukammil (1589-1604), Syamsuddin Sumatrani sudah menjadi orang kepercayaan sultan Aceh. Sayang dalam kitab Bustan al-Salathin sendiri tidak disingkapkan bagaimana perjalanan Syamsuddin Sumatrani sehingga ia menjadi ulama yang paling dipercaya dalam lingkungan istana kerajaan Aceh selama tiga atau empat dasawarsa.
Syamsuddin Sumatrani wafat pada tahun 1039 H/1630 M, dan selama beberapa dasawarsa terakhir dari masa hidupnya ia merupakan tokoh agama terkemuka yang dihormati dan disegani. Ia berada dalam lindungan dan bahkan berhubungan erat dengan penguasa Kerajaan Aceh Darussalam.
Syamsuddin Sumatrani adalah satu dari empat ulama yang paling terkemuka. Ia berpengaruh serta berperan besar dalam sejarah pembentukan dan pengembangan intelektualitas keislaman di Aceh pada kisaran abad ke-l7 dan beberapa dasawarsa sebelumnya. Keempat ulama tersebut adalah Hamzah Fansuri (?-?), Syamsuddin Sumatrani (?-1630), Nuruddin Raniri (?-1658), dan Abdur Rauf Singkel (1615/20-1693). Mengenai ada tidaknya hubungan antara Syamsuddin Sumatrani dengan ketiga ulama lainnya, ada baiknya disinggung seperlunya.

Mengenai hubungan Hamzah Fansuri dengan Syamsuddin Sumatrani, sejarawan A. Hasjmy cenderung memandang Syamsuddin Sumatrani sebagai murid dari Hamzah Fansuri. Pandangannya ini diperkuat dengan ditemukannya dua karya tulis Syamsuddin Sumatrani yang merupakan ulasan (syarah) terhadap pengajaran Hamzah Fansuri. Kedua karya tulis Syamsuddin Sumatrani itu adalah Syarah Ruba'i Hamzah Fansuri dan Syarah Syair Ikan Tongkol.

Adapun hubungannya dengan Nuruddin ar-Raniri, hal ini tidak diketahui secara pasti. Yang jelas adalah bahwa tujuh tahun setelah Syamsuddin Sumatrani wafat, Raniri memperoleh kedudukan seperti sebelumnya diperoleh Syamsuddin Sumatrani. Ia diangkat menjadi mufti Kerajaan Aceh Darussalam pada tahun 1637 oleh Sultan Iskandar Tsani. Karena fatwanya yang men-zindiq-kan (mengkafirkan) paham wahdatul wujud Syamsuddin Sumatrani, maka para pengikut Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani dihukum oleh pihak penguasa dengan hukuman bunuh. Bahkan literatur-literatur yang mereka miliki dibakar habis. Namun demikian, para pengikut paham Sumatrani itu ternyata tidak punah semuanya.

Pada kisaran tahun 1644 Raniri disingkirkan dari kedudukannya selaku mufti kerajaan Aceh Darussalam. Ia pun terpaksa pulang ke Ranir, Gujarat. Sebagai penggantinya, Sultanah Tajul Alam Safiatuddin (1641-1675) kemudian mempercayakan jabatan mufti kerajaan kepada Saifur Rijal. Saifur Rijal adalah seorang Minang yang juga penganut paham wahdatul wujud. Pada waktu itu ia baru pulang kembali ke Aceh dari pendalaman kajian agama di India. Dengan demikian, paham tasawuf Syamsuddin Sumatrani itu kembali mewarnai corak keislaman di Kerajaan Aceh Darussalam.

Karya-karyanya
Dari hasil penelitian Prof. Dr. Azis Dahlan diketahui adanya sejumlah karya tulis yang dinyatakan sebagai bagian, atau berasal dari karangan-karangan Syamsuddin Sumatrani, atau disebutkan bahwa Syamsuddin Sumatrani yang mengatakan pengajaran itu. Karya-karya tulis itu sebagian berbahasa Arab, sebagian lagi berbahasa Melayu (Jawi). Diantara karya tulisnya yang dapat dijumpai adalah sebagai berikut:


Jawhar al-Haqa'iq (30 halaman; berbahasa Arab), merupakan karyanya yang paling lengkap yang telah disunting oleb Van Nieuwenhuijze. Kitab ini menyajikan pengajaran tentang martabat tujuh dan jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.

Risalah Tubayyin Mulahazhat al-Muwahhidin wa al-Mulhidin fi Dzikr Allah (8 balaman; berbahasa Arab). Karya yang telah disunting oleb Van Nieuwenhuijze ini, kendati relatif singkat, cukup penting karena mengandung penjelasan tentang perbedaan pandangan antara kaum yang mulhid dengan yang bukan mulhid.

Mir’at al-Mu'minin (70 halaman; berbahasa Melayu). Karyanya ini menjelaskan ajaran tentang keimanan kepada Allah, para rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, para malaikat-Nya, hari akhirat, dan kadar-Nya. Jadi pengajarannya dalam karya ini membicarakan butir-butir akidah, sejalan dengan paham Ahlus Sunnah wal Jama'ah (tepatnya Asy'ariah-Sanusiah).

Syarah Ruba'i Hamzah Fansuri (24 halaman; berbahasa Melayu). Karya ini merupakan ulasan terhadap 39 bait (156 baris) syair Hamzah Fansuri. Isinya antara lain menjelaskan pengertian kesatuan wujud (wahdat al-wujud).

Syarah Sya'ir Ikan Tongkol (20 balaman; berbahasa Melayu). Karya ini merupakan ulasan (syarh) terbadap 48 baris sya'ir Hamzah Fansuri yang mengupas soal Nur Muhammad dan cara untuk mencapai fana' di dalam Allah.

Nur al-Daqa'iq (9 halaman berbahasa Arab; 19 halaman berbahasa Me1ayu). Karya tulis yang sudah ditranskripsi oleh AH. Johns ini (1953) mengandung pembicaraan tentang rahasia ilmu makrifah (martabat tujuh).

Thariq al-Salikin (18 halaman; berbahasa Melayu). Karya ini mengandung penjelasan tentang sejumlah istilah, seperti wujud, 'adam, haqq, bathil, wajib, mumkin, mumtani’ dan sebagainya.

Mir’at al-Iman atau Kitab Bahr al-Nur (12 halaman; berbahasa Melayu). Karya ini berbicara tentang ma’rifah, martabat tujuh dan tentang ruh.

Kitab al-Harakah (4 halaman; ada yang berbahasa Arab dan ada pula yang berbahasa Melayu). Karya ini berbicara tentang ma’rifah atau martabat tujuh.

Ajaran Tasawufnya
Syamsuddin Sumatrani dikenal sebagai seorang sufi yang mengajarkan faham wahdatul wujud (keesaan wujud) dengan mengikuti faham wahdatul wujud Ibnu Arabi. Istilah wahdatul wujud itu sendiri sebenarnya bukan diberikan oleh Ibnu Arabi sendiri. Artinya, Ibnu Arabi tidak pernah menyatakan bahwa sistem pemikiran tasawufnya itu merupakan paham wahdatul wujud.

Dari hasil penelitian WC. Chittick, Sadr al-Din al-Qunawi (w. 673/1274) adalah orang pertama yang menggunakan istilah wahdatul wujud, hanya saja al-Qunawi tidak menggunakannya sebagai suatu istilah teknis yang independen. Selain al-Qunawi, masih banyak lagi yang menggunakan istilah wahdatul wujud. Namun tokoh yang paling besar peranannya dalam mempopulerkan istilah wahdatul wujud adalah Taqi al-Din Ibn Taymiyyah (w. 728/1328). Ia adalah pengecam keras ajaran Ibnu Arabi dan para pengikutnya.

Di antara kaum sufi yang mengikuti jejak pemikiran Ibnu Arabi tersebut adalah Syamsuddin Sumatrani. Pengajaran Syamsuddin Sumatrani tentang Tuhan dengan corak paham wahdatul wujud dapat dikenal dari pembicaraannya tentang maksud kalimat tauhid la ilaha illallah, yang secara harfiah berarti tiada Tuhan selain Allah. Ia menjelaskan bahwa kalimat tauhid tersebut bagi salik (penempuh jalan tasawuf) tingkat pemula (al-mubtadi) dipahami dengan pengertian bahwa tiada ada ma’bud (yang disembah) kecuali Allah.

Sementara bagi salik yang sudah berada pada tingkat menengah (al-mutawassith), kalimat tauhid tersebut dipahami dengan pengertian bahwa tidak ada maksud (yang dikehendaki) kecuali Allah. Adapun bagi salik yang sudah berada pada tingkat penghabisan (al-muntaha), kalimat tauhid tersebut difahami dengan pengertian bahwa tidak ada wujud kecuali Allah.
Namun ia mengingatkan bahwa terdapat perbedaan prinsipil antara pemahaman wahdatul wujud dari para penganut tauhid yang benar (al-muwahhidin al-shiddiqin), dengan paham wahdatul wujud dari kaum zindiq penganut panteisme. Di lihat dari satu sisi, kedua pihak itu memang nampak sependapat dalam menetapkan makna kalimat tauhid la ilaha illallah, yakni tiada wujud selain Allah, sedang wujud segenap alam adalah bersifat bayang-bayang atau majazi. Tetapi sebenarnya kedua belah pihak memiliki perbedaan pemahaman yang sangat prinsipil. Bagi kaum panteisme yang zindiq alias sesat, mereka memahaminya bahwa wujud Tuhan itu tidak ada, kecuali dalam kandungan wujud alam. Jadi bagi kalangan panteis ini, segenap wujud alam adalah wujud Tuhan dan wujud Tuhan adalah wujud alam (baik dari segi wujud maupun dari segi penampakannya).

Jadi para penganut paham panteisme itu mengidentikkan Tuhan dengan alam. Mereka menetapkan adanya kesatuan hakikat dalam kejamakan alam tanpa membedakan antara martabat Tuhan dengan martabat alam. Paham demikian menurut Syamsuddin Sumatrani adalah paham yang batil dan ditolak oleh para penganut tauhid yang benar.

Bagi Syamsuddin Sumatrani, sebagaimana faham Ibnu Arabi, asdalah Keesaan Wujud berarti tidak ada sesuatu pun yang memiliki wujud hakiki kecuali Tuhan. Sementara alam atau segala sesuatu selain Tuhan keberadaannya adalah karena diwujudkan (maujud) oleh Tuhan. Karena itu dilihat dari segi keberadaannya dengan dirinya sendiri, alam itu tidak ada (ma’dum); tetapi jika dilihat dari segi “keberadaannya karena wujud Tuhan” maka jelaslah bahwa alam itu ada (maujud).

Dengan demikian martabat Tuhan sangat berbeda dengan martabat alam. Hal ini diuraikan dalam ajarannya mengenai martabat tujuh, yakni satu wujud dengan tujuh martabatnya. Tulisnya:

I’lam, ketahui olehmu bahwa (se)sungguhnya martabat wujud Allah itu tujuh martabat; pertama martabat ahadiyyah, kedua martabat wahdah, ketiga martabat wahidiyyah, keempat martabat alam arwah, kelima martabat alam mitsal, keenam martabt alam ajsam dan ketujuh martabat alam insan.

Maka ahadiyyah bernama hakikat Allah Ta’ala, martabat Dzat Allah Ta’ala dan wahdah itu bernama hakikat Muhammad, ia itu bernama sifat Allah, dan wahidiyyah bernama (hakikat) insan dan Adam ‘alaihi al-Salam dan kita sekalian, ia itu bernama asma Allah Ta’ala, maka alam arwah martabat (hakikat) segala nyawa, maka alam mitsal martabat (hakikat) segala rupa, maka alam ajsam itu martabat (hakikat) segala tubuh, maka alam insan itu martabat (hakikat) segala manusia. Adapun martabat ahadiyyah, wahdah dan wahidiyyah itu anniyyat Allah Ta’ala, maka alam arwah, alam mitsal alam ajsam dan alam insan itu martabat anniyyat al-makhluk.

Atas uraian Syamsuddin Sumatrani tersebut Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan memberikan ulasan: terhadap tiga martabat pertama yang disebutnya dengan ‘anniyyat Allah, maksudnya adalah martabat wujud aktual Tuhan; Sedang terhadap empat martabat berikutnya yang disebut martabat anniyyat al-makhluk, maka yang dimaksudkannya adalah wujud aktual makhluk.

Dengan demikian, tiga martabat pertama adalah qadim (dahulu tanpa permulaan) dan baqa (kekal tanpa kesudahan); Sedang empat martabat berikutnya disebut muhdats (yang dijadikan/diciptakan). Karena itu pula istilah ‘alam tidak digunakan untuk tiga martabat pertama, tapi jelas dipergunakan untuk empat martabat berikutnya. Dari semua itu dapatlah dipahami bahwa martabat ketuhanan itu tidak lain dari tiga martabat pertama, sedang martabat alam atau makhluk mengacu pada empat martabat berikutnya. Wallahu A’lam.

sufinews.com

masihkah anda menuntut Allah

Syeikh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandary
“Sepanjang anda menuntut balasan atas amal anda, maka anda pun dituntut agar benar dalam amaliyah itu sendiri. Maka cukuplah bagi orang yang masih ragu atas

balasan Allah, bahwa ia dapatkan keselamatan dari siksa.”

Apabila Allah swt, hendak menampakkan anugerah keutamaanNya padamu, maka Allah menciptakan amal bagimu, dan mengaitkan amal itu kepadamu.

Yakni, Allah menciptkana kemampuan untukmu untuk beramal dan beribadah dan memberikan pertolongan agar dirimu menuju kepadaNya, bahkan mengembalikan amaliyah itu kepadamu. Allah swt, menciptakan ta’at, dan mengaitkan taat itu kepada kita, memberi pahala kepada kita, padahal seseungguhnya itu tidak layak bagi kita.

Anugerah luar biasa, bagaimana sampai Allah swt, memberikan anugerah itu, seakan-akan itu amal baik dan taat kita, padahal itu semua ciptaan Allah Ta’ala pada kita, bukan ciptaan kita, bukan kreasi dan ikhtiar kita.

Disinilah Ibnu Athaillah as-Sakandary mengingatkan:
“Tak habis-habisnya engkau mencaci dirimu, manakala semua itu dikembalikan padamu. Dan tidak habis-habisnya pujianmu manakala Allah swt, itu menampakkan kemurahanNya kepadamu.”

Sebab, diri kita, ditinjau dari eksistensi kita yang asli, tak lebih dari wujud kekurangan, wujud keragu-raguan, wujud kehinaan dan wujud kefakiran. Sedangkan jika dipandang dari segi anugerahNya keada kita, maka segalanya adalah wujud kebajikan dan keutamaan.

Begitu pula kelak di akhirat, manakala yang muncul adalah diri kita, maka kita berada dalam timbangan KeadilanNya, lalu menjadi wajar kalau KeadilanNya yang tampak, justru kita semua masuk neraka, apa pun amal dan ibadah yang kita lakukan. Karena dosa itu, sebesar apa pun sesungguhnya bukan menjadi penyebab seseorang masuk neraka. Manusia masuk neraka karena keadilanNya. Dan jika KeadilanNya yang tampil, maka seluruh kebaikan kita tak berartri, karena sesungguhnya buila ditimbang dengan KeadilanNya, amal perbuatan kita, ternyata bukan dari diri kita, bukan produksi dan ciptaan kita, namun ciptaan Allah swt, kehendakNya dan KuasaNya.

Sebaliknya bila yang dimunculkan adalah Anugerah dan RahmatNya, maka seluruh amal kita yang tampak adalah enugerah Ilahi semua, dan disanalah tiket ke syurga, karena anugerah dan rahmatNya pastilah menyertai perjalanan kita menuju Allah swt. Segala apa pun yang disadari karena bersamaNya, anugerah dan rahmatNya, akan menjadi mudah. Dan sebaliknya apa pun mudahnya kalau kita hanya bersama diri kita, mengandalkan diri dan amal perbuatan kita, pastilah gagal dan mengamali kesulitan luar biasa.

sufinews.com

PINTU SORGA

Jaman dahulu adalah seorang lelaki yang baik hatinya. Ia
telah menjalani hidupnya dengan melakukan segala hal yang
memungkinkan orang masuk sorga. Ia memberi harta kepada si
miskin, ia mencintai sesamanya, dan ia mengabdi kepada
mereka. Karena mengingat pentingnya kesabaran, ia senantiasa
bertahan terhadap kesulitan yang besar dan tak diduga-duga,
sering itu semua demi kebahagiaan orang lain. Iapun
mengadakan perjalanan jauh-jauh untuk mendapatkan
pengetahuan. Kerendahhatian dan perilakunya yang pantas
ditiru begitu dikenal sehingga ia dipuji-puji sebagai
seorang yang bijaksana dan warga yang baik; pujian itu
terdengar mulai dari Timur sampai ke Barat, Utara sampai ke
Selatan.

Segala kebaikan itu memang dijalankan --selama ia ingat
melakukannya. Namun ia memiliki kekurangan, yakni kurang
perhatian. Kecenderungan itu memang tidak berat, dan
ditimbang dengan kebaikannya yang lain, hal itu merupakan
cacat kecil saja. Ada beberapa orang miskin yang tak
tertolongnya, sebab selalu saja ia kurang memperhatikan
kebutuhan mereka itu. Kasih sayang dan pengabdian pun
kadang-kadang terlupakan apabila yang dipikirkannya sebagai
kebutuhan pribadi muncul dalam dirinya.

Ia suka sekali tidur. Dan kadang-kadang kalau ia sedang
tidur, kesempatan mendapatkan pengetahuan, atau memahaminya,
atau melaksanakan kerendahhatian, atau menambah jumlah
tindakannya yang terpuji kesempatan semacam itu lenyap
begitu saja, tak akan kembali lagi.

Wataknya yang baik meninggalkan bekas pada dirinya; begitu
juga halnya dengan wataknya yang buruk, yakni kurangnya
perhatian itu.

Dan kemudian ia meninggal. Menyadari dirinya berada di balik
kehidupan ini, dan sedang berjalan menuju pintu-pintu Taman
Berpagar, orang itu istirahat sejenak. Ia mendengarkan
kata-hatinya. Dan ia merasa bahwa kesempatannya memasuki
Gerbang Agung itu cukup besar.

Disaksikannya gerbang itu tertutup; dan kemudian terdengar
suara berkata kepadanya, "Siagalah selalu; sebab gerbang
hanya terbuka sekali dalam seratus tahun." Ia pun duduk
menunggu, gembira membayangkan apa yang akan terjadi. Namun,
jauh dari kemungkinan untuk menunjukkan kebaikan terhadap
manusia, ternyata ia menyadari bahwa kemampuannya untuk
memperhatikan tidak cukup pada dirinya. Setelah siaga terus
selama waktu yang rasanya sudah seabad kepalanya
terkantuk-kantuk. Segera saja pelupuk matanya tertutup. Dan
pada saat yang sekejap itu, gerbangpun terbuka. Sebelum mata
si lelaki itu terbuka sepenuhnya kembali, gerbang itupun
tertutup: dengan suara menggelegar yang cukup dahsyat untuk
membangunkan orang-orang mati.

Catatan

Kisah ini merupakan bahan pelajaran darwis yang disenangi;
kadang-kadang disebut "Parabel Tentang Kurangnya Perhatian,"
Meskipun terkenal sebagai kisah rakyat, asal-usulnya tak
diketahui. Beberapa orang menganggapnya ciptaan Hadrat Ali,
Kalifah Keempat. Yang lain mengatakan bahwa kisah itu begitu
penting, sehingga tentunya diucapkan sendiri oleh Nabi,
secara rahasia. Jelas kisah ini tidak terdapat dalam Hadits
Nabi.

Bentuk sastra yang kita pilih ini berasal dari seorang
darwis tak dikenal dari abad ketujuh belas, Amil Baba, yang
naskah-naskahnya menekankan bahwa "pengarang sejati adalah
orang yang karyanya tak bernama (anonim), sebab dengan cara
itu tak ada yang berdiri antara pelajar dan yang
dipelajarinya."

Rabu, 23 Juni 2010

Asal dan Kedudukan Ilmu Tasauf

Ketahuilah bahawa Ilmu Aqli adalah tunggal dengan zatnya [bersendirian iaitu diasaskan atas akal semata-mata], daripadanya lahir ilmu yang tersusun yang di dalamnya terdapat seluruh hal-ehwal dua ilmu yang tunggal. Ilmu yang tersusun itu ialah ilmu ahli-ahli Tasauf dan jalan ehwal mereka. Mereka mempunyai ilmu yang khas dengan jalan yang terang yang terhimpun dari dua ilmu.

Ilmu mereka terdiri dari

Hal,
Waktu,
Samaa',
Wujdan,
Sheikh,
Sakr,
Sohwu,
Isbat,
Mahwu,
Fakir,
Fana,
Wilayah,
Irodah,
Murid
dan apa yang berhubung dengan Hal Ehwal mereka serta tambah-tambahannya, sifat-sifat dan makam-makam.


--------------------------------------------------------------------------------


Penerangan petikan di atas oleh penterjemah iaitu Abdullah bin Muhammad (Naqula)

dari dua ilmu

Louis Gardent dan G.Anawati dalam buku mereka "Falsafah Al-Fikr Al-Din" menganggap ayat ini sebagai mengandungi teka-teki yang sukar untuk deselesaikan. Mereka bertanya: Apakah gerangan maksud "dua ilmu" yang disebut oleh Imam Ghazali? Ia menyebut Ilmu Aqli tetapi tiada menyebut yang satu lagi. Meskipun demikian, berat kemungkinan bahawa ia maksudkan Ilmu Syari'i di mana Ilmu Tasauf merupakan satu cantuman di antara dua ilmu itu. Nampaknya bukan begini, asas pembahagian 'duaan' "Akal-Syarak" adalah menurut kadar "dunia-akhirat".

Kita dapati di antara Ilmu-ilmu Aqliah ada pula ilmu-ilmu yang tujuannya ialah akhirat, seperti makrifat Qalbu-Qalbu dan makrifat Allah, sebagaimana ilmu-ilmu Syaria'ah ada pula Ilmu Fekah yang mengambil berat dalam urusan-urusan dunia (Falsafah Al-Fikr Al-Din penggal 1, muka 212).

Berhubung dengan ilmu yang tersusun ini, meskipun Imam Ghazali tidak menerangkan dengan jelas, kita dapat mengenainya dalam kitabnya "Al-Ahyaa' ketika menerangkan tentang "hakikat fikiran dan buahnya". Menurut keterangannya bahawa fikiran (Al-Fikr/Takakur) adalah bererti mendatangkan dua makrifat dalam Qalbu untuk untuk menghasilkan makrifat yang ketiga. Dengan ini bermakna bahawa Ilmu Aqli yang berasaskan akal semata-mata itu mengandungi dua ilmu yang tersusun yang melahirkan ilmu yang ketiga.

Bila ilmu yang ketiga ini telah didapati dengan erti telah terterap pada Qalbu,

suatu perubahan pada 'hal Qalbu' terjadi yang menyebabkan
berubahnya pula tindakan-tindakan anggota.
Jadinya dengan "fikiran" menerusi sistem duaan itu menelurkan "ILMU".
Ilmu ini menelurkan pula "HAL"
dan hal menelurkan "Tindakan" (Al 'Amal atau Al-Fi'li) [lihat Al-Ahyaa' penggal 4 muka 412-413].
Meskipun Ilmu 'Aqli itu sendiri mengandungi dua ilmu yang tersusun dalam dirinya, ia adalah tetap tunggal dipandang dari segi Akal; iaitu hasil daripada akal semata-mata.

Di atas Imam Ghazali berkata bahawa daripada Ilmu 'Aqli lahir ilmu yang tersusun iaitu ilmu ahli-ahli Tasauf. Bagaimanakah cara lahirnya ilmu yang tersusun dari Ilmu 'Aqli itu ??

Caranya begini; andaikata menerusi akal seseorang mendapat ilmu yang tiada ragu-ragu lagi bahawa "sampai kepada Allah" adalah modal yang paling penting untuk hidup di dunia dan di akhirat. Ini adalah Ilmu 'Aqli. Bila ilmu ini terterap pada Qalbu, ia mengubahkan "hal Qalbu" yang menyebabkan ia melakukan "Tindakan" mencari "Ilmu Tentang Cara-cara Beramal" atau "Ilmu Ibadat" sebagai jalan untuk sampai kepada Allah itu dan ahirnya ia mendapatinya. Sekarang nampaklah fungsi Ilmu 'Aqli itu.

Kita bicarakan pula tentang hasil daripadanya "Ilmu Tentang Cara-cara Beramal" itu merupakan satu ilmu yang tunggal. Ia tidak menghasikan apa-apa kalau tidak diamalkan. Bila ia diamalkan, datanglah "WARID-WARID" iaitu makna-makna(Maani) yang datang dari Alam Malakut ke atas Qalbu. Bila satu warid terterap pada Qalbu, ia mengubahkan "Hal Qalbu". Perubahan-perubahan pada hal Qalbu oleh Warid-warid ini melahirkan beberapa sifat Qalbu seseorang. Sifat-sifat ini jika sebentar sahaja dinamakan "HAL" dan kiranya ia menetap dinamakan "MAQAM".

Yang dinamakan hal itu ialah seperti

Al-Qabd dan Al-Basith,
Al-Jami' dan Al-Farq,
Al-Fana dan Al-Baqa,
Al-Shohu dan Al-Syakr,
Al-Mahw dan al-Isbat,
Al-Tamkin dan lain-lain lagi.
Yang dinamakan Maqam pula adalah seperti

Wara',
Zahid,
Fakir,
Sabar,
Syukur,
Redha,
Khauf,
Roja',
Tawakkal dan lain-lainnya.
Meskipun demikian, kadang-kadang "Hal" dianggap sebagai "Maqam" dan Maqam dianggap sebagai Hal bergantung kepada tempoh ia berada pada Qalbu [Lihat Al-Ahyaa' penggal 4 muka 139]' ['Awaariful Ma'aaruf muka 469-473] dan [Iqadzul Himam muka 24].

Perubahan-perubahan pada "Hal Qalbu" tersebut melahirkan semacam "Tindakan" pada aggota-anggota dan lidah seseorang.

Kalau Warid yang datang atas Qalbu itu bersifat Qabd(Kecut)' lahir ke atas anggota seseorang iaitu diam.
Kalau Warid yang datang itu bersifat Basith(Lega), lahirlah ke ats anggota iaitu gerak cergas.
Kalau Warid yang datang bersifat Zahid dan Wara', lahirlah ke atas anggota-anggota iaitu menjauh dan mengundur diri dari kesenangan duniawi.
Kalau Warid yang datang ke atas Qalbu itu bersifat Mahabbah(Cinta) dan Syauki(Rindu), lahirlah kesan pada lidah iaitu kata-kata yang tiada tertahan yang ganjil dipandang dari segi syara'[Lihat Iqadzul Himam muka 24].
Warid-warid yang datang atas Qalbu itu adalah luas ertinya; bukan sahaja berupa "makna-makna" yang menimbulkan "HAL-HAL" dan "MAQAM-MAQAM" seperti yang telah diterangkan, juga ia merupakan "LINTASAN-LINTASAN{KHOWATIR}" iaitu "Perkataan-perkataan yang dihadapkan kepada Qalbu". Lintasan-lintasan ini adalah lintasan-lintasan yang terpuji(Khowatir Mahmudah) yang datangnya dari Malaikat dan Allah yang dinamakan "ILHAM". Juga warid itu itu merupakan "Hakikat-hakikat dan Ilmu-ilmu yang datang dari sisi Allah" yang biasa dimasukkan dalam golongan Kasyaf dan Ilham.

Himpunan dari sifat-sifat Qalbu dinamakan "Hal-hal" dan "Maqam-maqam" dan ilmu-ilmu yang timbul dari ilham dan kashaf itu semuanya menjadi suatu Ilmu Yang Tunggal iaitu Ilmu hasil dari amalan. Paduan "Ilmu Tentang Cara-cara Beramal" dan "Ilmu Hasil Daripada Amalan" itulah dinamakan "ILMU TASAUF" sebagai ilmu yang ketiga atau sintesis; tetapi kali dilihat semula ke belakang, kepada asalnya, ia bersumber dari Ilmu 'Aqli juga.

Inilah nampaknya maksud kata-kata Imam Ghazali tadi;

"Ketahuilah bahawa Ilmu Aqli adalah tunggal dengan zatnya [bersendirian iaitu diasaskan atas akal semata-mata], daripadanya lahir ilmu yang tersusun yang dalamnya terdapat seluruh Hal Ehwal dua ilmu yang tunggal. Ilmu yang tersusun itu ialah ilmu ahli-ahli Tasauf dan jalan ehwal mereka. Mereka mempunyai ilmu yang khas dengan jalan yang terang yang terhimpun dari dua ilmu".

Dalam keterangan seterusnya Imam Ghazali mengemukakan kandungan atau bahagian-bahagian yang membentuk ilmu Tasauf itu dengan menyebut beberapa contoh yang lebih banyak mengandungi hal-hal(Ahwal) kalau dibandingkan dengan Maqam-maqam(Maqaamat).

Hal makna-makna yang Warid atas Qalbu tanpa sengaja.
Waktu [Waktu] Waktu hal itu terjadi atas seseorang tanpa hubungan dengan waktu-waktu yang lepas dan akan datang.
Samaa' [Taat] Penumpuan Qalbu kepada apa yang terpuji mengikur Syara'
Wujdan Hal yang menghaibkan yang ditemui oleh Qalbu kerana syuhudnya
Syauq [Rindu] Kerinduan-kerinduan untuk berlakunya pertemuan-pertemuan dengan Allah
Sakr [Mabuk] Kehilangan kesedaran diri kerana datangnya Warid yang kuat
Shohr [Sihat] Sedar kembali selepas kehilangan kesedaran diri kerana datang Warid yang kuat itu
Isbaat Melepaskan hukum-hukum ibadat
Mahwu [Hapus] Membuang sifat-sifat(jiwa) yang teradat, ada orang mengatakan kehilangan 'Ilat(sebab) dan ada yang mengatakan apa yang dilindungi dan dinafikan
Fakir Keadaan tiada memandang sesuatu yang lain daripada Allah, tidak memerlukan apa-apa selain daripada Allah dan tidak senang hati kerana pengaruh sesuatu selain dari hudur bersama Allah
Fana Penglihatan seorang hamba kepada 'Ilat (Sebab) dengan mendirikan Allah pada 'Ilat itu
Wilayah Berdiri hamba dengan Allah ketika fana dari dirinya, hal ini terjadi dengan toleh Allah Taala kepadanya hingga ia sampai kepada matlamat Maqam Qarb(Kehampiran) dan Tamkin(Sampai kepada Allah)
Iradat [Kemahuan] Cinta yang menyala dalam Qalbu yang mendorongi untuk beramal
Sheikh Manusia yang sempurna dalam ilmu-ilmu syariat, thorikat dan hakikat
Murid Seorang yang menyingkirkan kemahuannya. Menurut Imam Ghazali; murid ialah yang berada pada tingakat ASma(Nama-nama Allah) dan masuk ke dalam golongan orang yang menyerahkan segala-galanya kepada Allah dengan Isim



--------------------------------------------------------------------------------


Sambungan Kitab Al-Risaalatulil-Duniyyah oleh Imam Ghazali

Kami akan bincangkan tentang ilmu yang tiga ini dalam buku yang khas InsyaAllah Taala. Tujuan kami sekarang hanya membilang-bilang nama ilmu-ilmu dan jenis-jenisnya sahaja dalam risalah ini dan sudahlah kami ringkaskan dan membilangnya secara ringkas dan sesiapa yang hendak mengetahui lebih jauh silalah lihat kitab-kitab yang mengenainya

Setelah selesai menyebut jenis-jenis ilmu, ketahuilah anda dengan sesungguhnya bahawa tiap-tiap ilmu ini memerlukan beberapa syarat supaya dia terukit pada jiwa-jiwanya para penentutnya. Oleh itu perlulah diketahui pula mengenai cara-cara mendapatkan ilmu-ilmu ini seperti yang akan dinyatakan seterusnyai[Cara dan Kaedah Mendapatkan Ilmu]

Ringkasan Fasal Di Atas

Setelah membincangkan jenis-jenis ilmu itu (dalam fasal bahagian-bahagian ilmu), Imam Ghazali menyebut pula tentang Ilmu Tasauf sebagai suatu ilmu yang tersendiri. Walau bagaimanapun is berasal dari Ilmu 'Aqli itu juga. Ilmu 'Aqli ini sebagai asasnya sahaja. Yang melahirkan Ilmu Tasauf itu secara langsung ialah ilmu tentang cara-cara beramal yang disertakan dengan amalan(ibadat). Ilmu tentang cara-cara beramal itu adalah suatu bahagian daripada Ilmu Syari'i. Jadi Ilmu Tasauf itu selain dari bersangkut dengan Ilmu 'Aqli ia juga bersangkut dengan Ilmu Syari'i. Gabungan dua bahagian ilmu inilah yang melahirkan Ilmu Tasauf. Dengan kata lain Paduan "Ilmu Tentang Cara-cara Beramal" dan "Ilmu Hasil Daripada Amalan" itulah dinamakan "ILMU TASAUF" Tetapi asal Ilmu Tasauf ini lebih jauh lagi perbincangannya yang melibatkan ilmu yang khas yang melahirkan hal-ehwal ilmu mereka yang tidak akan ditemui oleh mereka yang tidak mengikuti disiplin pengajiannya.

Inilah asal dan kedudukan Ilmu Tasauf yang hebat dan istimewa