Sabtu, 20 November 2010

TAWADU

1. Rendah hati (tawadhu) adalah suatu kenikmatan yang tidak dimengerti oleh orang yang dengki.
2. Sombong terhadap orang-orang yang sombong adalah tawadhu itu sendiri.
3. Rendah hati termasuk salah satu cara mendapatkan kemuliaan.
4. Rendah hati membawa kepada keselamatan.
5. Tidak ada nasab (yang lebih mulia) seperti rendah hati.
6. Buah dari rendah hati adalah (mendapatkan) kecintaan.
7. Kerendahhatian seseorang di saat dia memiliki kedudukan menjadi perlindungan baginya ketika dia mengalami kejatuhan.
8. Temuilah orang-orang ketika mereka butuh kepadamu dengan keceriaan dan kerendahhatian. Maka, jika engkau terkena suatu musibah dan keadaan buruk menimpamu, lalu engkau bertemu dengan mereka, maka engkau telah aman dan terlepas dari bahaya kehinaan karena kerendahhatianmu itu.
9. Orang-orang golongan atas, jika mereka terdidik, mereka rendah hati; dan jika mereka menjadi miskin, mereka menyerang.
10. Imam ‘Ali a.s. berkata kepada seseorang yang memuji-mujinya secara berlebihan, sementara kesetiaannya kepada beliau diragukan, “Aku tidak seperti yang kaukatakan, dan ‘di atas’ apa yang engkau sembunyikan di dalam hatimu.”
11. Orang yang rendah hati seperti jurang yang di dalamnya berhimpun air hujan dan air hujan lainnya, sedangkan orang yang sombong seperti bukit yang tidak menetap di dalamnya air hujannya dan air hujan yang lainnya.
12. Jika engkau telah melakukan segala sesuatu, maka jadilah seperti orang yang tidak melakukan apa pun.

DZIQIR MENEMBUS LANGIT

Dzikirlah kepada-Ku, niscaya Aku akan dzikir kepadamu.(Q.s. Al Baqarah: 152).
“Wahai orang-orang yang beriman, berdzikirlah kepada Allah dengan dzikir yang sebanyak-banyaknya.” (Q.s. Al Ahzab: 41)
“Ahli dzikir kepada-Ku adalah teman duduk-Ku.” (Hadis Qudsy yang diriwatatkan HR. Ahmad)
“Siapa yang ingin bersenang-senang ditaman syurga, perbanyaklah dzikir.” (HR.Thabrani)

Keselamatan memiliki empat bagian, yang sembilan diantaranya terdapat dalam diam kecuali dari dzikir kepada Allah Taa’la, sedangkan yang satunya lagi terdapat dalam meninggalkan pergaulan dengan orang-orang bodoh. (Ali Bin Abi Thalib)
Orang yang berdzikir kepada Allah ditengah-tengah orang-orang yang lalai berdzikir kepada-Nya seperti pohon yang hijau yang berada ditengah-tengah tanaman yang kering, dan seperti rumah yang berpenghuni diantara reruntuhan rumah. (Ali bin Abi Thalib)
Diantara indera-indera lahiriah, tidak ada yang lebih mulia daripada mata, maka janganlah kamu penuhi semua keinginannya (pandangannya) karena ia akan melalaikan kalian dari dzikir kepada Allah. (Ali Bin Abi Thalib)

Dzikir adalah membebaskan diri dari sikap lalai dan lupa dengan menghadirkan hati secara terus-menerus bersama Allah. Sebagian kalangan mengatakan bahwa dzikir adalah menyebut secara berulang-ulang dengan hati dan lisan nama Allah, salah satu sifat-Nya, salah satu hukum-Nya, atau lainnya, yang dengannya seseorang dapat mendekatkan diri kepada Allah. (Menurut Ibnu Athaillah)
Dzikir adalah lembaran kekuasaan, cahaya penghubung, pencapaian kehendak, tanda awal perjalanan yang benar dan bukti akhir perjalanan menuju Allah. Tidak ada sesuatu setelah dzikir. Semua perangai yang terpuji merujuk kepada dzikir dan bersumber darinya. ( Imam Abu Qasim al Qusyairi)
Dzikir adalah unsur penting dalam perjalanan menuju al Haq. Bahkan, dia adalah pemimpin dalam perjalanan tersebut. Seseorang tidak akan sampai kepada Allah kecuali dia tekun dalam berdzikir. (Imam Abu Qasim Al Qusyairi)

Tidak diragukan bahwa hati dapat berkarat seperti halnya besi dan perak. Dan alat pembersih hati adalah dzikir. Dzikir dapat membersihkannya, sehingga dia menjadi seperti cermin yang bersih. Apabila seseorang meninggalkan dzikir, maka hatinya akan berkarat. Dan apabila dia berzikir, maka hatinya menjadi bersih.Berkaratnya hati disebabkan dua perkara, yakni lalai dan dosa. Dan yang dapat membersihkannya juga dua perkara, yakni istighfar dan dzikir. Barang siapa yang lalai dalam kebanyakan waktunya, maka karat di hatinya akan menumpuk sesuai dengan tingkat kelalaiannya. Apabila hati berkarat, maka segala sesuatu tidak tergambar di dalamnya sesuai dengan faktanya. Dia akan melihat kebatilan dalam bentuk kebenaran, dan melihat kebenaran dalam bentuk kebatilan. Sebab, ketika karat hati itu bertumpuk, hati menjadi gelap, sehingga bentuk-bentuk kebenaran tidak tergambar sebagaimana adanya. Apabila karat hati bertumpuk, maka hati menjadi hitam dan pandangannya menjadi rusak, sehingga dia tidak dapat menerima kebenaran dan tidak dapat mengingkari kebatilan. Inilah siksaan hati yang paling berat. Sumber dari semua itu adalah kelalaian dan mengikuti hawa nafsu. Keduanya menghilangkan cahaya hati dan membutakannya. Allah berfirman dalam surat al Kahfi ayat 28 yang artinya : Dan janganlah engkau mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan keadaannya melewati batas. (Ibnu qayyim Al jauziyah)
Keistimewaan itu terdapat dalam ucapan, perbuatan dan benda-benda. Dan keistimewaan yang paling agung adalah keistimewaan dzikir. Sebab, tidak ada amal anak Adam yang paling dapat menyelamatkannya dari siksa Allah selain dzikir kepada-Nya. Allah telah menjadikan segala sesuatu seperti minuman. Masing-masing memiliki manfaat khusus. Dengan demikian, setiap yang umum dan yang khusus harus diperhatikan sesuai dengan kondisi setiap orang. (Ahmad Zaruq)

Tidak akan terbuka pintu maqam ridla bagi seorang hamba melainkan setelah dia mengerjakan tiga perkara pada fase awal perjalanannya, yaitu :
1. Dia tenggelam dalam nama tunggal (Allah). Dzikir dengan nama tunggal ini hanya khusus bagi orang-orang yang telah mendapat izin dari seorang mursyid kamil.
2. Dia bergaul dengan orang-orang yang berzikir
3. Dia konsisten dalam mengerjakan amal saleh, dan bersih dari noda. Dengan kata lain, dia berpegang teguh pada syariat yang dibawa Nabi Muhammad saw. (Ahmad ibn Ujaibah)

Ada tiga macam dzikir: Dzikir dengan lisan yang memiliki sepuluh kebaikan. Dzikir dengan hati yang memiliki tujuh ratus kebaikan, dan dzikir yang pahalanya tidak ditimbang dan dihitung , yaitu puncak kecintaan kepada Allah serta perasan malu karena kedekatan-Nya. (Ibnu Salim)
Tidak setiap orang yang mengaku berdzikir (mengingat Allah) meski orang ingat (Sahl bin Abdullah)
Makna dzikir adalah mengaktualisasikan pengetahuan, bahwa Allah melihat Anda. Maka dengan hati Anda menyaksikan-Nya dengan dekatdengan Anda dan Anda merasa malu dengan-Nya. Kemudian Anda memprrioritaskan-Nya daripada diri Anda sendiridan seluruh kondisi spiritual Anda. (Sahl bin Abdullah)
Hakikat dzikir adalah melupakan dzikir. Yakni melupakan dzikir Anda kepada Allah SWT. dan melupakan segala sesuatu selain Allah Azza wa Jalla. (Asy-Syibli)
Dzikir adalah tiang penopang yang sangat kuat atas jalan menuju Allah swt. Sungguh, ia adalah landasan bagi tharikat itu sendiri. Tidak seorang pun dapat mencapai Allah swt, kecuali dengan terus-menerus dzikir kepada-Nya. (Abu Ali ad-Daqqaq berkata)
Dzikir adalah tebaran kewalian. Seseorang yang dianugerahi keberhasilan dalam dzikir berarti telah dianugerahi taburan itu, dan orang yang tidak dianugerahinya berarti telah dipecat. (Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq )

Dzikir berarti meninggalkan bidang kealpaan dan memasuki bidang musyahadah mengalahkan rasa takut dan disertai kecintaan yang luar biasa. (al-Wasithy )
Seorang yang benar-benar dzikir kepada Allah akan lupa segala sesuatu selain dzikirnya. Allah akan melindunginya dari segala sesuatu, dan ia diberi ganti dari segala sesuatu. (Dzun Nun al-Mishry )
Seandainya bukan kewajibanku untuk berdzikir kepada-Nya, tentu aku tidak berdzikir karena mengagungkan-Nya. Orang sepertiku berdzikir kepada Allah swt.? Tanpa membersihkan mulutnya dengan seribu tobat karena berdzikir kepada-Nya!” (Muhammad al-Kattany )
Tiada sehari pun berlalu, kecuali Allah swt. berseru, ‘Wahai hamba-Ku, engkau telah berlaku zalim kepada-Ku. Aku mengingatmu, tapi engkau melupakan-Ku. Aku menghilangkan penderitaanmu, tapi engkau terus melakukan dosa. Wahai anak Adam, apa yang akan engkau katakan besok jika engkau bertemu dengan Ku’? (Sahl bin Abdullah)
Seseorang yang tidak dapat merasakan keganasan alpa, tidak akan merasakan sukacita dzikir. (Abu Utsman )
Ada hukuman atas tiap-tiap sesuatu, dan hukuman bagi seorang ahli ma’rifat adalah terputus dari dzikir kepada-Nya.(Ats-Tsaury)
Dzikir berarti tiadanya ingatan pelaku dzikir terhadap dzikirnya. (Dzun-Nun)
Dzikir dengan lidah tana dirasakan oleh hati-itulah dzikir yang biasa; dzikir dengan lidah yang disertai oleh hati-itulah dzikir yang meraih pahala; dan dzikir bilah hati mengembara dalam ingatan dan meninggalkan lidah dalam diam, nilai dzikir semacam itu hanya dikethui oleh Allah SWT. (al Kharraz)
Barangsiapa yang ingat akan dzikir-Nya lebih lalai ketimbang yang lupa akan dzikir-Nya. (Abu Bakar al Wasiti)
Carilah kemanisan dalam tiga hal: shalat, dzikir dan membaca Al-Qur’an. Kemanisan hanya dapat ditemukan di sana, atau jika tidak sama sekali, maka ketahuilah bahwa pintu telah tertutup.(Abu Sulaiman ad-Dar).

Syekh Abul Hasan Syadzily

Syekh Abul Hasan Syadzily
Beliau r.a. berkata: Ilmu-ilmu ini adalah benteng-benteng dan penjelasan terhadap posisi-posisi jiwa, bersitan-bersitan, tipu dayanya, dan kehendaknya, serta memutus hati dari memperhatikan, bersantai, dan bertenteraman (dengan ego) di atas jalan tauhid dan syariat dengan kemurnian cinta dan keikhlasan agama dengan sunah.
Mereka mempunyai beberapa tambahan dalam maqam-maqam keyakinan dari zuhud, sabar, harap, takut, tawakal, ridha, dan lain-Iainnya yang termasuk maqam-maqam yakin. Inilah jalan orang-orang yang menuju (kepada Allah) dalam metode interaksi.

Adapun ahlullah dan hamba-hamba istimewa-Nya, maka mereka adalah kaum yang ditarik Allah dari kejahatan dan pangkal-pangkalnya. Dia pekerjakan mereka kepada kebaikan dan cabang-cabangnya. Dia limpahkan kecintaan khalwat pada mereka, dan Dia buka jalan munajat bagi mereka. Sehingga Dia mengenalkan diri-Nya lantas mereka mengenal-Nya. Dia menumbuhkan cinta pada mereka, maka mereka mencintai-Nya. Dan Dia Yang Menunjukkan jalan, lalu mereka menempuhnya. Jadi, mereka senantiasa dengan-Nya serta untuk-Nya. Dia tidak membiarkan mereka untuk selain-Nya dan tidak mendinding mereka dari-Nya. Bahkan, mereka terdinding dengan-Nya dari selain-Nya, tidak mengenal selain-Nya, dan tidak cinta kecuali kepada-Nya. “Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal” (QS Az-Zumar 39;18).

Hakikat Jalan (Tasawuf)
Jalan ini tidak ditempuh dengan kerahiban, makan gandum, kulit padi, maupun sisa produksi. Akan tetapi, dengan kesabaran dan keyakinan dalam petunjuk. Allah SWT berfirman, “Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar (dalam menegakkan kebenaran) dan adalah mereka meyakini ayat-ayat kami, Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang memberikan keputusan di antara mereka pada hari Kiamat tentang apa yang selalu mereka perselisihkan padanya.” (QS. As-Sajadah [32]: 24-25)

Dan, pelabuhan ini sungguh mulia, padanya lima perkara: sabar, takwa, wara’, yakin, dan makrifat. Sabar apabila disakiti, takwa dengan tidak menyakiti, wara’ terhadap yang keluar masuk dari sini —dan dia menunjuk mulutnya— dan pada hati, bahwa tidak menerobos ke dalamnya selain apa yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya, juga keyakinan dalam rezeki, dan makrifat terhadap al-Haqq yang tidak akan hina seseorang bersamanya kepada siapa pun dari makhluk. “Bersabarlah (hai Muhammad) dan Tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS, An-Nahl [16]: 127-128).

Hakikat orang yang berakal
Beliau r.a. berkata: Orang yang berakal adalah orang yang mengerti tentang Allah, apa-apa yang Dia kehendaki atasnya dan apa yang berasal darinya secara syariat. Dan, yang Allah inginkan dari hamba itu ada empat: adakalanya nikmat atau cobaan, ketaatan atau kemaksiatan.
Apabila kamu berada dengan nikmat, maka Allah menuntut syukur darimu secara syariat. Apabila Allah menghendaki cobaan bagimu, maka Dia menuntut kesabaran darimu secara syariat. Jika menghendaki ketaatan darimu, maka Allah menuntut darimu kesaksian terhadap anugerah dan memandang taufik secara syariat. Dan, jika menghendaki kemaksiatan darimu, maka Allah menuntut darimu tobat dan kembali kepada-Nya dengan penyesalan secara syariat.

Siapa yang mengerti empat perkara ini dari Allah dan melakukan apa yang Allah cintai darinya secara syariat, maka dia adalah hamba yang sebenar-benarnya. Dalilnya adalah sabda Nabi SAW, “Siapa yang apabila diberi lantas ia bersyukur, jika ditimpa cobaan dia bersabar, menzalimi lalu meminta ampun, dan dizalimi lalu memaafkan,” Kemudian, beliau berdiam. Para sahabat bertanya, “Apa, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Merekalah yang mendapatkan keamanan dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” Demikian juga dalam ungkapan sebagian mereka, “Tidak pernah gampang hal itu kecuali bagi seorang hamba yang mencinta. Dia tidak mencintai kecuali karena Allah semata atau mencintai apa yang Allah perintahkan sebagai syariat agamanya.” Wassalam.

Beliau r.a. berkata: Terdapat di sebagian khabar, “Siapa yang taat kepada-Ku dalam segala sesuatu dengan meninggalkan segala sesuatu, niscaya Aku memperkenankannya dalam setiap sesuatu; bahwa Aku ber-tajalli kepadanya pada setiap sesuatu hingga dia melihat-Ku seakan-akan Aku adalah segalanya.” Inilah ketaatan yang terdapat pada hak awam orang-orang yang saleh.

Adapun ketaatan pada hak khawdsh dari kalangan shiddiqin adalah dengan ‘keputusasaan’ dari mereka dengan menghadap kepada segala sesuatu karena bagusnya kehendak Tuhan mereka pada setiap sesuatu. Maka, seolah-olah Dia berkata, “Siapa yang taat kepada-Ku atas segala sesuatu dengan menghadap pada segala sesuatu karena bagusnya kehendak-Ku pada setiap sesuatu, bahwa Aku ber-tajalli kepadanya pada setiap sesuatu hingga dia melihat-Ku seakan-akan Aku lebih dekat kepadanya dari segala sesuatu.

Jumat, 25 Juni 2010

syeh Syamsudin Asumatrani

Sufi Legendaris dari Nangroe Aceh
Sejak lama Aceh telah dikenal sebagai satu-satunya daerah yang aksentuasi keislamannya paling menonjol. Selain menonjolnya warna keislaman dalam kehidupan sosio-kultur di sana, ternyata di Serambi Mekah ini pernah tersimpan pula sejumlah Sufi ternama semisal Samsuddin Sumatrani.

Syamsuddin Sumatrani adalah salah satu tokoh sufi terkemuka yang telah turut mengguratkan corak esoteris pada wajah Islam di Aceh. Sayangnya perjalanan hidup sang sufi ini sulit sekali untuk dirangkai secara utuh. Hal ini selain karena tidak ditemukannya catatan otobiografisnya, juga karena langkanya sumber-sumber akurat yang dapat dirujuk.

Bahkan tidak kurang peneliti seperti Prof. Dr. Azis Dahlan yang pernah mengadakan penelitian untuk disertasinya, merasa kesulitan dengan langkanya sumber-sumber mengenai tokoh sufi yang satu ini. Diantara sumber tua yang dapat dijumpai mengenai potret Syamsuddin Sumatrani adalah Hikayat Aceh, Adat Aceh, dan kitab Bustanu al-Salathin. Itupun tidak memotret perjalanan hidupnya secara terinci. Meski demikian, dari serpihan-serpihan data historis yang terbatas itu kiranya cukuplah bagi kita untuk sekedar memperoleh gambaran akan kiprahnya berikut spektrum pemikirannya.

Mengenai asal-usulnya, tidak diketahui secara pasti kapan dan di mana ia lahir. Perihal sebutan Sumatrani yang selalu diiringkan di belakang namanya, itu merupakan penisbahan dirinya kepada “negeri Sumatra” alias Samudra Pasai. Sebab memang di kepulauan Sumatra ini tempo doeloe pernah berdiri sebuah kerajaan yang cukup ternama, yakni Samudra Pasai. Itulah sebabnya ia juga adakalanya disebut Syamsuddin Pasai.

Menurut para sejarawan, penisbahan namanya dengan sebutan Sumatrani ataupun Pasai mengisyaratkan adanya dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, orang tuanya adalah orang Pasai (Sumatra). Dengan demikian maka bisa diduga bahwa ia sendiri dilahirkan dan dibesarkan di Pasai. Jika pun ia tidak lahir di Pasai, maka kemungkinan kedua bahwa sang ulama terkemuka pada zamannya ini telah lama bermukim di Pasai bahkan ia meninggal dan dikuburkan di sana.

Berbicara tentang peranan Sumatra sebagai pusat pengajaran dan pengembangan Islam, Negeri Pasai itu memang lebih dahulu terkemuka daripada Banda Aceh. Paling tidak Samudera Pasai lebih dulu terkemuka pada kisaran abad ke-14 dan 15 M, yakni sebelum akhirnya Pasai dikuasai oleh Portugis pada tahun 1514. Sementara beralihnya tampuk kekuasaan Negeri Pasai kepada Kerajaan Aceh Darussalam baru berlangsung pada tahun 1524.

Peranan dan Pengaruhnya
Pada masa pemerintahan Sayyid Mukammil (1589-1604), Syamsuddin Sumatrani sudah menjadi orang kepercayaan sultan Aceh. Sayang dalam kitab Bustan al-Salathin sendiri tidak disingkapkan bagaimana perjalanan Syamsuddin Sumatrani sehingga ia menjadi ulama yang paling dipercaya dalam lingkungan istana kerajaan Aceh selama tiga atau empat dasawarsa.
Syamsuddin Sumatrani wafat pada tahun 1039 H/1630 M, dan selama beberapa dasawarsa terakhir dari masa hidupnya ia merupakan tokoh agama terkemuka yang dihormati dan disegani. Ia berada dalam lindungan dan bahkan berhubungan erat dengan penguasa Kerajaan Aceh Darussalam.
Syamsuddin Sumatrani adalah satu dari empat ulama yang paling terkemuka. Ia berpengaruh serta berperan besar dalam sejarah pembentukan dan pengembangan intelektualitas keislaman di Aceh pada kisaran abad ke-l7 dan beberapa dasawarsa sebelumnya. Keempat ulama tersebut adalah Hamzah Fansuri (?-?), Syamsuddin Sumatrani (?-1630), Nuruddin Raniri (?-1658), dan Abdur Rauf Singkel (1615/20-1693). Mengenai ada tidaknya hubungan antara Syamsuddin Sumatrani dengan ketiga ulama lainnya, ada baiknya disinggung seperlunya.

Mengenai hubungan Hamzah Fansuri dengan Syamsuddin Sumatrani, sejarawan A. Hasjmy cenderung memandang Syamsuddin Sumatrani sebagai murid dari Hamzah Fansuri. Pandangannya ini diperkuat dengan ditemukannya dua karya tulis Syamsuddin Sumatrani yang merupakan ulasan (syarah) terhadap pengajaran Hamzah Fansuri. Kedua karya tulis Syamsuddin Sumatrani itu adalah Syarah Ruba'i Hamzah Fansuri dan Syarah Syair Ikan Tongkol.

Adapun hubungannya dengan Nuruddin ar-Raniri, hal ini tidak diketahui secara pasti. Yang jelas adalah bahwa tujuh tahun setelah Syamsuddin Sumatrani wafat, Raniri memperoleh kedudukan seperti sebelumnya diperoleh Syamsuddin Sumatrani. Ia diangkat menjadi mufti Kerajaan Aceh Darussalam pada tahun 1637 oleh Sultan Iskandar Tsani. Karena fatwanya yang men-zindiq-kan (mengkafirkan) paham wahdatul wujud Syamsuddin Sumatrani, maka para pengikut Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani dihukum oleh pihak penguasa dengan hukuman bunuh. Bahkan literatur-literatur yang mereka miliki dibakar habis. Namun demikian, para pengikut paham Sumatrani itu ternyata tidak punah semuanya.

Pada kisaran tahun 1644 Raniri disingkirkan dari kedudukannya selaku mufti kerajaan Aceh Darussalam. Ia pun terpaksa pulang ke Ranir, Gujarat. Sebagai penggantinya, Sultanah Tajul Alam Safiatuddin (1641-1675) kemudian mempercayakan jabatan mufti kerajaan kepada Saifur Rijal. Saifur Rijal adalah seorang Minang yang juga penganut paham wahdatul wujud. Pada waktu itu ia baru pulang kembali ke Aceh dari pendalaman kajian agama di India. Dengan demikian, paham tasawuf Syamsuddin Sumatrani itu kembali mewarnai corak keislaman di Kerajaan Aceh Darussalam.

Karya-karyanya
Dari hasil penelitian Prof. Dr. Azis Dahlan diketahui adanya sejumlah karya tulis yang dinyatakan sebagai bagian, atau berasal dari karangan-karangan Syamsuddin Sumatrani, atau disebutkan bahwa Syamsuddin Sumatrani yang mengatakan pengajaran itu. Karya-karya tulis itu sebagian berbahasa Arab, sebagian lagi berbahasa Melayu (Jawi). Diantara karya tulisnya yang dapat dijumpai adalah sebagai berikut:


Jawhar al-Haqa'iq (30 halaman; berbahasa Arab), merupakan karyanya yang paling lengkap yang telah disunting oleb Van Nieuwenhuijze. Kitab ini menyajikan pengajaran tentang martabat tujuh dan jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.

Risalah Tubayyin Mulahazhat al-Muwahhidin wa al-Mulhidin fi Dzikr Allah (8 balaman; berbahasa Arab). Karya yang telah disunting oleb Van Nieuwenhuijze ini, kendati relatif singkat, cukup penting karena mengandung penjelasan tentang perbedaan pandangan antara kaum yang mulhid dengan yang bukan mulhid.

Mir’at al-Mu'minin (70 halaman; berbahasa Melayu). Karyanya ini menjelaskan ajaran tentang keimanan kepada Allah, para rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, para malaikat-Nya, hari akhirat, dan kadar-Nya. Jadi pengajarannya dalam karya ini membicarakan butir-butir akidah, sejalan dengan paham Ahlus Sunnah wal Jama'ah (tepatnya Asy'ariah-Sanusiah).

Syarah Ruba'i Hamzah Fansuri (24 halaman; berbahasa Melayu). Karya ini merupakan ulasan terhadap 39 bait (156 baris) syair Hamzah Fansuri. Isinya antara lain menjelaskan pengertian kesatuan wujud (wahdat al-wujud).

Syarah Sya'ir Ikan Tongkol (20 balaman; berbahasa Melayu). Karya ini merupakan ulasan (syarh) terbadap 48 baris sya'ir Hamzah Fansuri yang mengupas soal Nur Muhammad dan cara untuk mencapai fana' di dalam Allah.

Nur al-Daqa'iq (9 halaman berbahasa Arab; 19 halaman berbahasa Me1ayu). Karya tulis yang sudah ditranskripsi oleh AH. Johns ini (1953) mengandung pembicaraan tentang rahasia ilmu makrifah (martabat tujuh).

Thariq al-Salikin (18 halaman; berbahasa Melayu). Karya ini mengandung penjelasan tentang sejumlah istilah, seperti wujud, 'adam, haqq, bathil, wajib, mumkin, mumtani’ dan sebagainya.

Mir’at al-Iman atau Kitab Bahr al-Nur (12 halaman; berbahasa Melayu). Karya ini berbicara tentang ma’rifah, martabat tujuh dan tentang ruh.

Kitab al-Harakah (4 halaman; ada yang berbahasa Arab dan ada pula yang berbahasa Melayu). Karya ini berbicara tentang ma’rifah atau martabat tujuh.

Ajaran Tasawufnya
Syamsuddin Sumatrani dikenal sebagai seorang sufi yang mengajarkan faham wahdatul wujud (keesaan wujud) dengan mengikuti faham wahdatul wujud Ibnu Arabi. Istilah wahdatul wujud itu sendiri sebenarnya bukan diberikan oleh Ibnu Arabi sendiri. Artinya, Ibnu Arabi tidak pernah menyatakan bahwa sistem pemikiran tasawufnya itu merupakan paham wahdatul wujud.

Dari hasil penelitian WC. Chittick, Sadr al-Din al-Qunawi (w. 673/1274) adalah orang pertama yang menggunakan istilah wahdatul wujud, hanya saja al-Qunawi tidak menggunakannya sebagai suatu istilah teknis yang independen. Selain al-Qunawi, masih banyak lagi yang menggunakan istilah wahdatul wujud. Namun tokoh yang paling besar peranannya dalam mempopulerkan istilah wahdatul wujud adalah Taqi al-Din Ibn Taymiyyah (w. 728/1328). Ia adalah pengecam keras ajaran Ibnu Arabi dan para pengikutnya.

Di antara kaum sufi yang mengikuti jejak pemikiran Ibnu Arabi tersebut adalah Syamsuddin Sumatrani. Pengajaran Syamsuddin Sumatrani tentang Tuhan dengan corak paham wahdatul wujud dapat dikenal dari pembicaraannya tentang maksud kalimat tauhid la ilaha illallah, yang secara harfiah berarti tiada Tuhan selain Allah. Ia menjelaskan bahwa kalimat tauhid tersebut bagi salik (penempuh jalan tasawuf) tingkat pemula (al-mubtadi) dipahami dengan pengertian bahwa tiada ada ma’bud (yang disembah) kecuali Allah.

Sementara bagi salik yang sudah berada pada tingkat menengah (al-mutawassith), kalimat tauhid tersebut dipahami dengan pengertian bahwa tidak ada maksud (yang dikehendaki) kecuali Allah. Adapun bagi salik yang sudah berada pada tingkat penghabisan (al-muntaha), kalimat tauhid tersebut difahami dengan pengertian bahwa tidak ada wujud kecuali Allah.
Namun ia mengingatkan bahwa terdapat perbedaan prinsipil antara pemahaman wahdatul wujud dari para penganut tauhid yang benar (al-muwahhidin al-shiddiqin), dengan paham wahdatul wujud dari kaum zindiq penganut panteisme. Di lihat dari satu sisi, kedua pihak itu memang nampak sependapat dalam menetapkan makna kalimat tauhid la ilaha illallah, yakni tiada wujud selain Allah, sedang wujud segenap alam adalah bersifat bayang-bayang atau majazi. Tetapi sebenarnya kedua belah pihak memiliki perbedaan pemahaman yang sangat prinsipil. Bagi kaum panteisme yang zindiq alias sesat, mereka memahaminya bahwa wujud Tuhan itu tidak ada, kecuali dalam kandungan wujud alam. Jadi bagi kalangan panteis ini, segenap wujud alam adalah wujud Tuhan dan wujud Tuhan adalah wujud alam (baik dari segi wujud maupun dari segi penampakannya).

Jadi para penganut paham panteisme itu mengidentikkan Tuhan dengan alam. Mereka menetapkan adanya kesatuan hakikat dalam kejamakan alam tanpa membedakan antara martabat Tuhan dengan martabat alam. Paham demikian menurut Syamsuddin Sumatrani adalah paham yang batil dan ditolak oleh para penganut tauhid yang benar.

Bagi Syamsuddin Sumatrani, sebagaimana faham Ibnu Arabi, asdalah Keesaan Wujud berarti tidak ada sesuatu pun yang memiliki wujud hakiki kecuali Tuhan. Sementara alam atau segala sesuatu selain Tuhan keberadaannya adalah karena diwujudkan (maujud) oleh Tuhan. Karena itu dilihat dari segi keberadaannya dengan dirinya sendiri, alam itu tidak ada (ma’dum); tetapi jika dilihat dari segi “keberadaannya karena wujud Tuhan” maka jelaslah bahwa alam itu ada (maujud).

Dengan demikian martabat Tuhan sangat berbeda dengan martabat alam. Hal ini diuraikan dalam ajarannya mengenai martabat tujuh, yakni satu wujud dengan tujuh martabatnya. Tulisnya:

I’lam, ketahui olehmu bahwa (se)sungguhnya martabat wujud Allah itu tujuh martabat; pertama martabat ahadiyyah, kedua martabat wahdah, ketiga martabat wahidiyyah, keempat martabat alam arwah, kelima martabat alam mitsal, keenam martabt alam ajsam dan ketujuh martabat alam insan.

Maka ahadiyyah bernama hakikat Allah Ta’ala, martabat Dzat Allah Ta’ala dan wahdah itu bernama hakikat Muhammad, ia itu bernama sifat Allah, dan wahidiyyah bernama (hakikat) insan dan Adam ‘alaihi al-Salam dan kita sekalian, ia itu bernama asma Allah Ta’ala, maka alam arwah martabat (hakikat) segala nyawa, maka alam mitsal martabat (hakikat) segala rupa, maka alam ajsam itu martabat (hakikat) segala tubuh, maka alam insan itu martabat (hakikat) segala manusia. Adapun martabat ahadiyyah, wahdah dan wahidiyyah itu anniyyat Allah Ta’ala, maka alam arwah, alam mitsal alam ajsam dan alam insan itu martabat anniyyat al-makhluk.

Atas uraian Syamsuddin Sumatrani tersebut Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan memberikan ulasan: terhadap tiga martabat pertama yang disebutnya dengan ‘anniyyat Allah, maksudnya adalah martabat wujud aktual Tuhan; Sedang terhadap empat martabat berikutnya yang disebut martabat anniyyat al-makhluk, maka yang dimaksudkannya adalah wujud aktual makhluk.

Dengan demikian, tiga martabat pertama adalah qadim (dahulu tanpa permulaan) dan baqa (kekal tanpa kesudahan); Sedang empat martabat berikutnya disebut muhdats (yang dijadikan/diciptakan). Karena itu pula istilah ‘alam tidak digunakan untuk tiga martabat pertama, tapi jelas dipergunakan untuk empat martabat berikutnya. Dari semua itu dapatlah dipahami bahwa martabat ketuhanan itu tidak lain dari tiga martabat pertama, sedang martabat alam atau makhluk mengacu pada empat martabat berikutnya. Wallahu A’lam.

sufinews.com

masihkah anda menuntut Allah

Syeikh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandary
“Sepanjang anda menuntut balasan atas amal anda, maka anda pun dituntut agar benar dalam amaliyah itu sendiri. Maka cukuplah bagi orang yang masih ragu atas

balasan Allah, bahwa ia dapatkan keselamatan dari siksa.”

Apabila Allah swt, hendak menampakkan anugerah keutamaanNya padamu, maka Allah menciptakan amal bagimu, dan mengaitkan amal itu kepadamu.

Yakni, Allah menciptkana kemampuan untukmu untuk beramal dan beribadah dan memberikan pertolongan agar dirimu menuju kepadaNya, bahkan mengembalikan amaliyah itu kepadamu. Allah swt, menciptakan ta’at, dan mengaitkan taat itu kepada kita, memberi pahala kepada kita, padahal seseungguhnya itu tidak layak bagi kita.

Anugerah luar biasa, bagaimana sampai Allah swt, memberikan anugerah itu, seakan-akan itu amal baik dan taat kita, padahal itu semua ciptaan Allah Ta’ala pada kita, bukan ciptaan kita, bukan kreasi dan ikhtiar kita.

Disinilah Ibnu Athaillah as-Sakandary mengingatkan:
“Tak habis-habisnya engkau mencaci dirimu, manakala semua itu dikembalikan padamu. Dan tidak habis-habisnya pujianmu manakala Allah swt, itu menampakkan kemurahanNya kepadamu.”

Sebab, diri kita, ditinjau dari eksistensi kita yang asli, tak lebih dari wujud kekurangan, wujud keragu-raguan, wujud kehinaan dan wujud kefakiran. Sedangkan jika dipandang dari segi anugerahNya keada kita, maka segalanya adalah wujud kebajikan dan keutamaan.

Begitu pula kelak di akhirat, manakala yang muncul adalah diri kita, maka kita berada dalam timbangan KeadilanNya, lalu menjadi wajar kalau KeadilanNya yang tampak, justru kita semua masuk neraka, apa pun amal dan ibadah yang kita lakukan. Karena dosa itu, sebesar apa pun sesungguhnya bukan menjadi penyebab seseorang masuk neraka. Manusia masuk neraka karena keadilanNya. Dan jika KeadilanNya yang tampil, maka seluruh kebaikan kita tak berartri, karena sesungguhnya buila ditimbang dengan KeadilanNya, amal perbuatan kita, ternyata bukan dari diri kita, bukan produksi dan ciptaan kita, namun ciptaan Allah swt, kehendakNya dan KuasaNya.

Sebaliknya bila yang dimunculkan adalah Anugerah dan RahmatNya, maka seluruh amal kita yang tampak adalah enugerah Ilahi semua, dan disanalah tiket ke syurga, karena anugerah dan rahmatNya pastilah menyertai perjalanan kita menuju Allah swt. Segala apa pun yang disadari karena bersamaNya, anugerah dan rahmatNya, akan menjadi mudah. Dan sebaliknya apa pun mudahnya kalau kita hanya bersama diri kita, mengandalkan diri dan amal perbuatan kita, pastilah gagal dan mengamali kesulitan luar biasa.

sufinews.com

PINTU SORGA

Jaman dahulu adalah seorang lelaki yang baik hatinya. Ia
telah menjalani hidupnya dengan melakukan segala hal yang
memungkinkan orang masuk sorga. Ia memberi harta kepada si
miskin, ia mencintai sesamanya, dan ia mengabdi kepada
mereka. Karena mengingat pentingnya kesabaran, ia senantiasa
bertahan terhadap kesulitan yang besar dan tak diduga-duga,
sering itu semua demi kebahagiaan orang lain. Iapun
mengadakan perjalanan jauh-jauh untuk mendapatkan
pengetahuan. Kerendahhatian dan perilakunya yang pantas
ditiru begitu dikenal sehingga ia dipuji-puji sebagai
seorang yang bijaksana dan warga yang baik; pujian itu
terdengar mulai dari Timur sampai ke Barat, Utara sampai ke
Selatan.

Segala kebaikan itu memang dijalankan --selama ia ingat
melakukannya. Namun ia memiliki kekurangan, yakni kurang
perhatian. Kecenderungan itu memang tidak berat, dan
ditimbang dengan kebaikannya yang lain, hal itu merupakan
cacat kecil saja. Ada beberapa orang miskin yang tak
tertolongnya, sebab selalu saja ia kurang memperhatikan
kebutuhan mereka itu. Kasih sayang dan pengabdian pun
kadang-kadang terlupakan apabila yang dipikirkannya sebagai
kebutuhan pribadi muncul dalam dirinya.

Ia suka sekali tidur. Dan kadang-kadang kalau ia sedang
tidur, kesempatan mendapatkan pengetahuan, atau memahaminya,
atau melaksanakan kerendahhatian, atau menambah jumlah
tindakannya yang terpuji kesempatan semacam itu lenyap
begitu saja, tak akan kembali lagi.

Wataknya yang baik meninggalkan bekas pada dirinya; begitu
juga halnya dengan wataknya yang buruk, yakni kurangnya
perhatian itu.

Dan kemudian ia meninggal. Menyadari dirinya berada di balik
kehidupan ini, dan sedang berjalan menuju pintu-pintu Taman
Berpagar, orang itu istirahat sejenak. Ia mendengarkan
kata-hatinya. Dan ia merasa bahwa kesempatannya memasuki
Gerbang Agung itu cukup besar.

Disaksikannya gerbang itu tertutup; dan kemudian terdengar
suara berkata kepadanya, "Siagalah selalu; sebab gerbang
hanya terbuka sekali dalam seratus tahun." Ia pun duduk
menunggu, gembira membayangkan apa yang akan terjadi. Namun,
jauh dari kemungkinan untuk menunjukkan kebaikan terhadap
manusia, ternyata ia menyadari bahwa kemampuannya untuk
memperhatikan tidak cukup pada dirinya. Setelah siaga terus
selama waktu yang rasanya sudah seabad kepalanya
terkantuk-kantuk. Segera saja pelupuk matanya tertutup. Dan
pada saat yang sekejap itu, gerbangpun terbuka. Sebelum mata
si lelaki itu terbuka sepenuhnya kembali, gerbang itupun
tertutup: dengan suara menggelegar yang cukup dahsyat untuk
membangunkan orang-orang mati.

Catatan

Kisah ini merupakan bahan pelajaran darwis yang disenangi;
kadang-kadang disebut "Parabel Tentang Kurangnya Perhatian,"
Meskipun terkenal sebagai kisah rakyat, asal-usulnya tak
diketahui. Beberapa orang menganggapnya ciptaan Hadrat Ali,
Kalifah Keempat. Yang lain mengatakan bahwa kisah itu begitu
penting, sehingga tentunya diucapkan sendiri oleh Nabi,
secara rahasia. Jelas kisah ini tidak terdapat dalam Hadits
Nabi.

Bentuk sastra yang kita pilih ini berasal dari seorang
darwis tak dikenal dari abad ketujuh belas, Amil Baba, yang
naskah-naskahnya menekankan bahwa "pengarang sejati adalah
orang yang karyanya tak bernama (anonim), sebab dengan cara
itu tak ada yang berdiri antara pelajar dan yang
dipelajarinya."

Rabu, 23 Juni 2010

Asal dan Kedudukan Ilmu Tasauf

Ketahuilah bahawa Ilmu Aqli adalah tunggal dengan zatnya [bersendirian iaitu diasaskan atas akal semata-mata], daripadanya lahir ilmu yang tersusun yang di dalamnya terdapat seluruh hal-ehwal dua ilmu yang tunggal. Ilmu yang tersusun itu ialah ilmu ahli-ahli Tasauf dan jalan ehwal mereka. Mereka mempunyai ilmu yang khas dengan jalan yang terang yang terhimpun dari dua ilmu.

Ilmu mereka terdiri dari

Hal,
Waktu,
Samaa',
Wujdan,
Sheikh,
Sakr,
Sohwu,
Isbat,
Mahwu,
Fakir,
Fana,
Wilayah,
Irodah,
Murid
dan apa yang berhubung dengan Hal Ehwal mereka serta tambah-tambahannya, sifat-sifat dan makam-makam.


--------------------------------------------------------------------------------


Penerangan petikan di atas oleh penterjemah iaitu Abdullah bin Muhammad (Naqula)

dari dua ilmu

Louis Gardent dan G.Anawati dalam buku mereka "Falsafah Al-Fikr Al-Din" menganggap ayat ini sebagai mengandungi teka-teki yang sukar untuk deselesaikan. Mereka bertanya: Apakah gerangan maksud "dua ilmu" yang disebut oleh Imam Ghazali? Ia menyebut Ilmu Aqli tetapi tiada menyebut yang satu lagi. Meskipun demikian, berat kemungkinan bahawa ia maksudkan Ilmu Syari'i di mana Ilmu Tasauf merupakan satu cantuman di antara dua ilmu itu. Nampaknya bukan begini, asas pembahagian 'duaan' "Akal-Syarak" adalah menurut kadar "dunia-akhirat".

Kita dapati di antara Ilmu-ilmu Aqliah ada pula ilmu-ilmu yang tujuannya ialah akhirat, seperti makrifat Qalbu-Qalbu dan makrifat Allah, sebagaimana ilmu-ilmu Syaria'ah ada pula Ilmu Fekah yang mengambil berat dalam urusan-urusan dunia (Falsafah Al-Fikr Al-Din penggal 1, muka 212).

Berhubung dengan ilmu yang tersusun ini, meskipun Imam Ghazali tidak menerangkan dengan jelas, kita dapat mengenainya dalam kitabnya "Al-Ahyaa' ketika menerangkan tentang "hakikat fikiran dan buahnya". Menurut keterangannya bahawa fikiran (Al-Fikr/Takakur) adalah bererti mendatangkan dua makrifat dalam Qalbu untuk untuk menghasilkan makrifat yang ketiga. Dengan ini bermakna bahawa Ilmu Aqli yang berasaskan akal semata-mata itu mengandungi dua ilmu yang tersusun yang melahirkan ilmu yang ketiga.

Bila ilmu yang ketiga ini telah didapati dengan erti telah terterap pada Qalbu,

suatu perubahan pada 'hal Qalbu' terjadi yang menyebabkan
berubahnya pula tindakan-tindakan anggota.
Jadinya dengan "fikiran" menerusi sistem duaan itu menelurkan "ILMU".
Ilmu ini menelurkan pula "HAL"
dan hal menelurkan "Tindakan" (Al 'Amal atau Al-Fi'li) [lihat Al-Ahyaa' penggal 4 muka 412-413].
Meskipun Ilmu 'Aqli itu sendiri mengandungi dua ilmu yang tersusun dalam dirinya, ia adalah tetap tunggal dipandang dari segi Akal; iaitu hasil daripada akal semata-mata.

Di atas Imam Ghazali berkata bahawa daripada Ilmu 'Aqli lahir ilmu yang tersusun iaitu ilmu ahli-ahli Tasauf. Bagaimanakah cara lahirnya ilmu yang tersusun dari Ilmu 'Aqli itu ??

Caranya begini; andaikata menerusi akal seseorang mendapat ilmu yang tiada ragu-ragu lagi bahawa "sampai kepada Allah" adalah modal yang paling penting untuk hidup di dunia dan di akhirat. Ini adalah Ilmu 'Aqli. Bila ilmu ini terterap pada Qalbu, ia mengubahkan "hal Qalbu" yang menyebabkan ia melakukan "Tindakan" mencari "Ilmu Tentang Cara-cara Beramal" atau "Ilmu Ibadat" sebagai jalan untuk sampai kepada Allah itu dan ahirnya ia mendapatinya. Sekarang nampaklah fungsi Ilmu 'Aqli itu.

Kita bicarakan pula tentang hasil daripadanya "Ilmu Tentang Cara-cara Beramal" itu merupakan satu ilmu yang tunggal. Ia tidak menghasikan apa-apa kalau tidak diamalkan. Bila ia diamalkan, datanglah "WARID-WARID" iaitu makna-makna(Maani) yang datang dari Alam Malakut ke atas Qalbu. Bila satu warid terterap pada Qalbu, ia mengubahkan "Hal Qalbu". Perubahan-perubahan pada hal Qalbu oleh Warid-warid ini melahirkan beberapa sifat Qalbu seseorang. Sifat-sifat ini jika sebentar sahaja dinamakan "HAL" dan kiranya ia menetap dinamakan "MAQAM".

Yang dinamakan hal itu ialah seperti

Al-Qabd dan Al-Basith,
Al-Jami' dan Al-Farq,
Al-Fana dan Al-Baqa,
Al-Shohu dan Al-Syakr,
Al-Mahw dan al-Isbat,
Al-Tamkin dan lain-lain lagi.
Yang dinamakan Maqam pula adalah seperti

Wara',
Zahid,
Fakir,
Sabar,
Syukur,
Redha,
Khauf,
Roja',
Tawakkal dan lain-lainnya.
Meskipun demikian, kadang-kadang "Hal" dianggap sebagai "Maqam" dan Maqam dianggap sebagai Hal bergantung kepada tempoh ia berada pada Qalbu [Lihat Al-Ahyaa' penggal 4 muka 139]' ['Awaariful Ma'aaruf muka 469-473] dan [Iqadzul Himam muka 24].

Perubahan-perubahan pada "Hal Qalbu" tersebut melahirkan semacam "Tindakan" pada aggota-anggota dan lidah seseorang.

Kalau Warid yang datang atas Qalbu itu bersifat Qabd(Kecut)' lahir ke atas anggota seseorang iaitu diam.
Kalau Warid yang datang itu bersifat Basith(Lega), lahirlah ke ats anggota iaitu gerak cergas.
Kalau Warid yang datang bersifat Zahid dan Wara', lahirlah ke atas anggota-anggota iaitu menjauh dan mengundur diri dari kesenangan duniawi.
Kalau Warid yang datang ke atas Qalbu itu bersifat Mahabbah(Cinta) dan Syauki(Rindu), lahirlah kesan pada lidah iaitu kata-kata yang tiada tertahan yang ganjil dipandang dari segi syara'[Lihat Iqadzul Himam muka 24].
Warid-warid yang datang atas Qalbu itu adalah luas ertinya; bukan sahaja berupa "makna-makna" yang menimbulkan "HAL-HAL" dan "MAQAM-MAQAM" seperti yang telah diterangkan, juga ia merupakan "LINTASAN-LINTASAN{KHOWATIR}" iaitu "Perkataan-perkataan yang dihadapkan kepada Qalbu". Lintasan-lintasan ini adalah lintasan-lintasan yang terpuji(Khowatir Mahmudah) yang datangnya dari Malaikat dan Allah yang dinamakan "ILHAM". Juga warid itu itu merupakan "Hakikat-hakikat dan Ilmu-ilmu yang datang dari sisi Allah" yang biasa dimasukkan dalam golongan Kasyaf dan Ilham.

Himpunan dari sifat-sifat Qalbu dinamakan "Hal-hal" dan "Maqam-maqam" dan ilmu-ilmu yang timbul dari ilham dan kashaf itu semuanya menjadi suatu Ilmu Yang Tunggal iaitu Ilmu hasil dari amalan. Paduan "Ilmu Tentang Cara-cara Beramal" dan "Ilmu Hasil Daripada Amalan" itulah dinamakan "ILMU TASAUF" sebagai ilmu yang ketiga atau sintesis; tetapi kali dilihat semula ke belakang, kepada asalnya, ia bersumber dari Ilmu 'Aqli juga.

Inilah nampaknya maksud kata-kata Imam Ghazali tadi;

"Ketahuilah bahawa Ilmu Aqli adalah tunggal dengan zatnya [bersendirian iaitu diasaskan atas akal semata-mata], daripadanya lahir ilmu yang tersusun yang dalamnya terdapat seluruh Hal Ehwal dua ilmu yang tunggal. Ilmu yang tersusun itu ialah ilmu ahli-ahli Tasauf dan jalan ehwal mereka. Mereka mempunyai ilmu yang khas dengan jalan yang terang yang terhimpun dari dua ilmu".

Dalam keterangan seterusnya Imam Ghazali mengemukakan kandungan atau bahagian-bahagian yang membentuk ilmu Tasauf itu dengan menyebut beberapa contoh yang lebih banyak mengandungi hal-hal(Ahwal) kalau dibandingkan dengan Maqam-maqam(Maqaamat).

Hal makna-makna yang Warid atas Qalbu tanpa sengaja.
Waktu [Waktu] Waktu hal itu terjadi atas seseorang tanpa hubungan dengan waktu-waktu yang lepas dan akan datang.
Samaa' [Taat] Penumpuan Qalbu kepada apa yang terpuji mengikur Syara'
Wujdan Hal yang menghaibkan yang ditemui oleh Qalbu kerana syuhudnya
Syauq [Rindu] Kerinduan-kerinduan untuk berlakunya pertemuan-pertemuan dengan Allah
Sakr [Mabuk] Kehilangan kesedaran diri kerana datangnya Warid yang kuat
Shohr [Sihat] Sedar kembali selepas kehilangan kesedaran diri kerana datang Warid yang kuat itu
Isbaat Melepaskan hukum-hukum ibadat
Mahwu [Hapus] Membuang sifat-sifat(jiwa) yang teradat, ada orang mengatakan kehilangan 'Ilat(sebab) dan ada yang mengatakan apa yang dilindungi dan dinafikan
Fakir Keadaan tiada memandang sesuatu yang lain daripada Allah, tidak memerlukan apa-apa selain daripada Allah dan tidak senang hati kerana pengaruh sesuatu selain dari hudur bersama Allah
Fana Penglihatan seorang hamba kepada 'Ilat (Sebab) dengan mendirikan Allah pada 'Ilat itu
Wilayah Berdiri hamba dengan Allah ketika fana dari dirinya, hal ini terjadi dengan toleh Allah Taala kepadanya hingga ia sampai kepada matlamat Maqam Qarb(Kehampiran) dan Tamkin(Sampai kepada Allah)
Iradat [Kemahuan] Cinta yang menyala dalam Qalbu yang mendorongi untuk beramal
Sheikh Manusia yang sempurna dalam ilmu-ilmu syariat, thorikat dan hakikat
Murid Seorang yang menyingkirkan kemahuannya. Menurut Imam Ghazali; murid ialah yang berada pada tingakat ASma(Nama-nama Allah) dan masuk ke dalam golongan orang yang menyerahkan segala-galanya kepada Allah dengan Isim



--------------------------------------------------------------------------------


Sambungan Kitab Al-Risaalatulil-Duniyyah oleh Imam Ghazali

Kami akan bincangkan tentang ilmu yang tiga ini dalam buku yang khas InsyaAllah Taala. Tujuan kami sekarang hanya membilang-bilang nama ilmu-ilmu dan jenis-jenisnya sahaja dalam risalah ini dan sudahlah kami ringkaskan dan membilangnya secara ringkas dan sesiapa yang hendak mengetahui lebih jauh silalah lihat kitab-kitab yang mengenainya

Setelah selesai menyebut jenis-jenis ilmu, ketahuilah anda dengan sesungguhnya bahawa tiap-tiap ilmu ini memerlukan beberapa syarat supaya dia terukit pada jiwa-jiwanya para penentutnya. Oleh itu perlulah diketahui pula mengenai cara-cara mendapatkan ilmu-ilmu ini seperti yang akan dinyatakan seterusnyai[Cara dan Kaedah Mendapatkan Ilmu]

Ringkasan Fasal Di Atas

Setelah membincangkan jenis-jenis ilmu itu (dalam fasal bahagian-bahagian ilmu), Imam Ghazali menyebut pula tentang Ilmu Tasauf sebagai suatu ilmu yang tersendiri. Walau bagaimanapun is berasal dari Ilmu 'Aqli itu juga. Ilmu 'Aqli ini sebagai asasnya sahaja. Yang melahirkan Ilmu Tasauf itu secara langsung ialah ilmu tentang cara-cara beramal yang disertakan dengan amalan(ibadat). Ilmu tentang cara-cara beramal itu adalah suatu bahagian daripada Ilmu Syari'i. Jadi Ilmu Tasauf itu selain dari bersangkut dengan Ilmu 'Aqli ia juga bersangkut dengan Ilmu Syari'i. Gabungan dua bahagian ilmu inilah yang melahirkan Ilmu Tasauf. Dengan kata lain Paduan "Ilmu Tentang Cara-cara Beramal" dan "Ilmu Hasil Daripada Amalan" itulah dinamakan "ILMU TASAUF" Tetapi asal Ilmu Tasauf ini lebih jauh lagi perbincangannya yang melibatkan ilmu yang khas yang melahirkan hal-ehwal ilmu mereka yang tidak akan ditemui oleh mereka yang tidak mengikuti disiplin pengajiannya.

Inilah asal dan kedudukan Ilmu Tasauf yang hebat dan istimewa

Khatamul Auliya’

Imam at-Tairmidzy al-Hakim, seorang filosuf agung dan Sufi terbesar di zamannya pernah menulis tentang Khatamul Auliya’ (Pamungkas para wali), sebagai konsep mengembangkan pamungkas para Nabi (Khatimul Anbiya’). Ibu

Araby dalam kitabnya yang paling komprehensif sepanjang zaman, Al-Futuhatul Makiyyah. Disanalah Ibnu Araby menjawab 155 pertanyaan dalam Khatamul Auliya’-nya At-Tirmidy. Dalam pertanyaan pertama berbunyi:

Berapakah Manazil (tempat pijakan ruhani) para Auliya’?
Ibnu Araby menjawab: Ketahuilah bahwa manazil Auliya’ ada dua macam. Pertama bersifat Inderawi (hissiyah) dan kedua bersifat Maknawy. Posisi pijakan ruhani (manzilah) yang bersifat inderawi, adalah syurga, walau pun di syurga itu ada seratus jumlah derajatnya. Sedangkan manzilah mereka di dunia yang bersifat inderawi adalah ahwal mereka yang seringkali melahirkan sesuatu yang luar biasa. Diantara mereka ada ditampakkan oleh Allah seperti Wali-wali Abdal dan sejenisnya. Ada juga yang tidak ditampakkan seperti kalangan Wali Malamatiyah serta para kaum ‘Arifin yang agung, jumlah pijakan mereka lebih dari 100 tempat pijakan ruhani. Setiap masing-masing tempat itu berkembang menjadi sekian tempat yang begitu banyak. Demikian pijakan ruhani mereka yang bersifat inderawi di dua alam (dunia dan akhirat).

Sedangkan yang bersifat Maknawy dalam dimensi-dimensi kema’rifatan, maka manzilah mereka 248 ribu tempat pijakan ruhani hakiki yang tidak dapat diraih oleh ummat-ummat sebelum Nabi kita Muhammad SAW, dengan rasa ruhani yang berbeda-beda, dan masing-masing rasa ruhani memiliki rasa yang spesial yang hanya diketahui oleh yang merasakan.

Jumlah tersebut tersari dalam empat maqamat: 1) Maqam Ilmu Ladunny, 2) Maqam Ilmu Nur, 3) Maqam Ilmu al-Jam’u dan at-Tafriqat, 4) Maqam Ilmu Al-Kitabah al-Ilahiyyah. Diantara Maqamat itu adalah maqam-amaqam Auliya’ yang terbagi dalam 100 ribu lebih maqam Auliya, dan masing-masing masih bercabang banyak, yang bisa dihitung, namun bukan pada tempatnya mengurai di sini.

Mengenai Ilmu Ladunny berhubungan dengan nunasa-nuansa Ilahiyah dan sejumlah serapannya berupa Rahmat khusus. Sedangkan Ilmu Nur, tampak kekuatannya pada cakrawala ruhani paling luhur, ribuan Tahun Ilahiyah sebelum lahirnya Adam as. Sementara Ilmu Jam’ dan Tafriqah adalah Lautan Ilahiyah yang meliputi secara universal, dimana Lauhul Mahfudz sebagai abian dari Lautan itu. Dari situ pula melahirkan Akal Awal, dan seluruh cakrawala tertinggi mencerap darinya. Dan sekali lagi, para Auliya selain ummat ini tidak bisa mencerapnya. Namun diantara para Auliya’ ada yang mampu meraih secara keseluruhan ragam itu, seperti Abu Yazid al-Bisthamy, dan Sahl bin Abdullah, serta ada pula yang hanya meraih sebagian. Para Auliya’ di kalangan ummat ini dari perspektif pengetahuan ini ada hembusan ruh dalam lorong jiwanya, dan tak ada yang sempurna kecuali dari Auliya’ ummat ini sebagai pemuliaan dan pertolongan Allah kepada mereka, karena kedudukan agung Nabi mereka Sayyidina Muhammad SAW.

Di dalam pengetahuan tersebut tersembunyi rahasia-rahasia ilmu pengetahuan yang sesungguhnya berada dalam tiga pijakan dasar ruhani pengetahuan: 1) Pengetahuan yang berhubungan dengan Ilahiyyah, 2) Pengetahuan yang berhubungan dengan ruh-ruh yang luhur, dan 3) Pengetahuan yang berhubungan dengan maujud-maujud semesta.
Yang berhubungan dengan ilmu ruh-ruh yang luhur menjadi beragam tanpa adanya kemustahilan kontradiktif. Sedangkan yang berhubungan dengan maujud alam beragam, dan memiliki kemustahilan dengan kontradiksi kemustahilannya.

Jika pengetahuan terbagi dalam tiga dasar utama itu, maka para Auliya’ juga terbagi dalam tiga lapisan: Lapisan Tengah (Ath-Thabaqatul Wustha), memiliki 123 ribu pijakan ruhani, dan 87 manzilah utama, yang menjadi sumber serapan dari masing-masing manzilah yang tidak bisa dibatasi, karena terjadinya interaksi satu sama lainnya, dan tidak ada yang meraih manfaatnya kecuali dengan Rasa Khusus. Sementara lapisan yang sisanya, (dua lapisan) muncul dengan pakaian kebesaran dan sarung keagungan. Hanya saja keduanya yang menggunakan sarung keagungan itu memiliki mazilah lebih dari 123 ribu itu. Sebab pakaian kebesaran merupakan penampakan dari AsmaNya Yang Maha Dzahir, sedangkan sarungnya adalah penampakan dari AsmaNya Yang Maha Batin. Yang Dzahir adalah asal tonggaknya, dan Yang Batin adalah karakter baru, dimana dengan kebaruannya muncullah pijakan-pijakan ruhani (manazil) ini.

Cabang senantiasa menjadi tempatnya buah. Maka apa yang ditemukan pada cabang itu merupakan sesuatu yang tidak ditemukan dalam tonggaknya, yaitu buah. Walaupun dua cabang di atas itu munculnya dari satu tonggak utamanya yaitu AsdmaNya Yang Maha Dzahir, tetapi hukumnya berbeda. Ma’rifat kita kepada Tuhan, muncul setelah kita mengenal diri kita, sebab itu “Siapa yang kenal dirinya, kenal Tuhannya”. Walaupun wujud diri kita sesungguhnya merupakan cabang dari dari Wujug Rabb. Wujud Rabb adalah tonggal asal, dan wujud hamba adalah cabang belaka. Dalam Martabat bisa akan mendahului, sehingga bagiNya ada Nama Al-Awwal, dan dalam suatu martabat diakhirkan, sehingga ada Nama Yang Maha Akhir. Disatu sisi dihukumi sebagai Asal karena nisbat khusus, dan dilain sisi disehukumi sebagai Cabang karena nisbat yang lain. Inilah yang bisa dinalar oleh analisa akal. Sedangkan yang dirasakan oleh limpahan Ma’rifat Rasa, maka Dia adalah Dzahir dari segi bahwa Dia adalah Batin, dan Dia adalah Batin dari segi kenyataanNya Yang Dzahir, dan Awwal dari kenyataanNya adalah Akhir, demikian pula dalam Akhir.

Swedangkan jumlah para Auliya yang berada dalam manzilah-manzilah itu, ada356 sosok, yang mereka itu adala dalam kalbu Adam, Nuh, Ibrahim, Jibril, Mikail, dan Israfil. Dan ada 300, 40, 7, 5, 3 dan 1. Sehingga jumlah kerseluruhan 356 tokoh. Hal ini menurut kalangan Sufi karena adanya hadits yang menyebut demikian.

Sedangkan menurut thariqat kami dan yang muncul dari mukasyafah, maka jumlah keseluruhan Auliya yang telah kami sebut diatas di awal bab ini, sampai berjumlah 589 orang. Diantara mereka ada 1 orang, yang tidak mesti muncul setiap zaman, yang disebut sebagai al-Khatamul Muhammady, sedangkan yang lain senantiasa ada di setiap zaman tidak berkurang dan tidak bertambah. Al-Khatamul Muhammady pada zaman ini (zaman Ibnu Araby, red), kami telah melihatnya dan mengenalnya (semoga Allah menyempurnakan kebahagiaannya), saya tahu ia ada di Fes (Marokko) tahun 595 H.

Sementara yang disepakati kalangan Sufi, ada 6 lapisan para Auliya’, yaitu para Wali : Ummahat, Aqthab; A’immah; Autad; Abdal; Nuqaba’; dan Nujaba’.

Pada pertanyaan lain : Siapa yang berhak menyandang Khatamul Auliya’ sebagaimana gelar yang disandang Khatamun Nubuwwah oleh Nabi Muhammad SAW.? Ibnu Araby menjawab:

Al-Khatam itu ada dua: Allah menutup Kewalian (mutlak), dan Allah menutup Kewalian Muhammadiyah. Penutup Kewalian mutlak adalah Isa Alaihissalaam. Dia adalah Wali dengan Nubuwwah Mutlak, yang kelak turun di era ummat ini, dimana turunnya di akhir zaman, sebagai pewaris dan penutup, dimana tidak ada Wali dengan Nubuwwah Mutlak setelah itu. Ia disela oleh Nubuwwah Syari’at dan Nubuwwah Risalah. Sebagaimana Nabi Muhammad SAW sebagai Penutup Kenabian, dimana tidak ada lagi Kenabian Syariat setelah itu, walau pun setelah itu masih turun seperti Isa, sebagai salah satu dari Ulul ‘Azmi dari para Rasul dan Nabi mulia. Maka turunnya Isa sebagai Wali dengan Nubuwwah mutlaknya, tertapi aturannya mengikuti aturan Nabi Muhammad SAW, bergabung dengan para Wali dari ummat Muhammad lainnya. Ia termasuk golongan kita dan pemuka kita.

Pada mulanya, ada Nabi, yaitu Adam, AS.Dan akhirnya juga ada Nabi, yaitu Isa, sebagai Nabi Ikhtishah (kekhususan), sehingga Isa kekal di hari mahsyar ikut terhampar dalam dua hamparan mahsyar. Satu Mahsyar bersama kita, dan satu mahsyar bersama para Rasul dan para Nabi.

Adapun Penutup Kewalian Muhammadiyah, saat ini (era Ibnu Araby) ada pada seorang dari bangsa Arab yang memiliki kemuliaan sejati. Saya kenal ditahun 595 H. Saya melihat tanda rahasia yang diperlihatkan oleh Allah Ta’ala pada saya dari kenyataan ubudiyahnya, dan saya lihat itu di kota Fes, sehingga saya melihatnya sebagai Khatamul Wilayah darinya. Dia adalah Khatamun Nubuwwah Mutlak, yang tidak diketahui banyak orang. Dan Allah telah mengujinya dengan keingkaran berbagai kalangan padanya, mengenai hakikat Allah dalam sirrnya.

Sebagaimana Allah menutup Nubuwwah Syariat dengan Nabi Muhammad SAW, begitu juga Allah menutup Kewalian Muhammady, yang berhasil mewarisi Al-Muhammadiyah, bukan diwarisi dari para Nabi. Sebab para Wali itu ada yang mewarisi Ibrahim, Musa, dan Isa, maka mereka itu masih kita dapatkan setelah munculnya Khatamul Auliya'’Muhammady , dan setelah itu tidak ada lagi Wali pada Kalbu Muhammad SAW. Inilah arti dari Khatamul Wilayah al-Muhammadiyah. Sedangkan Khatamul Wilayah Umum, dimana tidak ada lagi Wali setelah itu, ada pada Isa Alaissalam. Dan kami menemukan sejumlah kalangan sebagai Wali pada Kalbu Isa As, dan sejumlah Wali yang berada dalam Kalbu para Rasul lainnya.
Wallahu A’lam bish-Shawab.
sufinews.com

TEH POCI ALA SUFI

TEH ini ini benar-benar menyegarkan jiwa, membuang kolesterol dalam hati, menyemangatkan ibadah, dan membuat hati husnudzon dan optimis kepada Rahmat allah swt.

Itulah yang disajikan dalam menu Kafe Sufi. Semua pelanggan biasanya selalu memesan teh ini, baik diminum sesudah menikmati menu lain, atau sebagai penghantar. Selain baru dipetik dari Kebun Ma’rifat, teh ini disajikan dengan tatacara yang unik. Para pelayannya dan penyedu the ini, diwajibkan berwudhu lebih dahulu, dan setiap gerakan seduanya membaca Basmalah, sembari terus berdzikir dalam hatinya.

Sekali kita menyeruput the ini, kita ingin terus bertambah, dan terus bertambah. Anehnya semakin banyak para penikmat the ini, kebon Tehnya juga semakin subur dan makmur.
Mari kita lihat sejenak sang koki sedang menyiapkan the poci ini:

Daun-daun teh segar dari Kebun Ma’rifat, ternyata cukup beragam. Ada daun yang mengembang dengan nama daun taubat, daun khauf dan raja’, dan daun tafakkur. Lalu daun satu lagi dipetik dengan tangan yang disertai hasrat tawakkal, ikhlas dan ridho. Kemudian ada daun teh yang dinamakan daun zuhud, qona’aah dan syukur.

Daun-daun itu dimasak di atas tungku istiqomah dan dibakar oleh api cobaan. Ketika mulai mendidih airnya membunyikan gemuruh dzikrullah disana. Setelah itu dituangkan di atas gelas-gelas cinta (mahabbah), dan kelak siap diminum melalui bibir kerinduan Ilahi, disertai rasa syukur tiada tara.
Semakian diminum, semakin dahaga, semakin tiada tara dalam fana’nya hamba. Karena Baqo’Nya ada dihadapannya. Seteguk teh poci ala sufi ini, entah bagaimana rasanya.

Silahkan mencoba sendiri...

Minggu, 06 Juni 2010

Karang Jengkol

DESA CIHONJE
- Ciwaras
- Jingkang
- Cirebah
- Pengasinan
- Curug Lumpang
- Cinganguk
- Babakan Lor
- Babakan Kidul
- Cihonje
- Ciuyah
- Karang Jengkol
-Cogreg

Kamis, 27 Mei 2010

tarekat Syadziliah-3

Para ahli mengatakan bahwa hizib, bukanlah doa yang sederhana, ia secara kebaktian tidak begitu mendalam; ia lebih merupakan mantera megis yang Nama-nama Allah Yang Agung (Ism Allah A'zhim) dan, apabila dilantunkan secara benar, akan mengalirkan berkan dan menjamin respon supra natural. Menyangkut pemakaian hizib, wirid, dana doa, para syekh tareqat biasnya tidak keberatan bila doa-doa, hizib-hizib (Azhab), dan wirid-wirid dalam tareqat dipelajari oleh setiap muslim untuk tujuan personalnya. Akan tetapi mereka tidak menyetujui murid-murid mereka mengamalkannya tanpa wewenang, sebab murid tersebut sedang mengikuti suaru pelatihan dari sang guru.

Tareqat ini mempunyai pengaruh yang besar di dunia Islam. Sekarang tareqat ini terdapat di Afrika Utara, Mesir, Kenya, dan Tanzania Tengah, Sri langka, Indonesia dan beberapa tempat yang lainnya termasuk di Amerika Barat dan Amerika Utara. Di Mesir yang merupakan awal mula penyebaran tareqat ini, tareqat ini mempunyai beberapa cabang, yakitu: al-Qasimiyyah, al- madaniyyah, al-Idrisiyyah, as-Salamiyyah, al-handusiyyah, al-Qauqajiyyah, al-Faidiyyah, al-Jauhariyyah, al-Wafaiyyah, al-Azmiyyah, al-Hamidiyyah, al-Faisiyyah dan al- Hasyimiyyah.

Yang menarik dari filosufi Tasawuf Asy-Syadzily, justru kandungan makna hakiki dari Hizib-hizib itu, memberikan tekanan simbolik akan ajaran utama dari Tasawuf atau Tharekat Syadziliyah. Jadi tidak sekadar doa belaka, melainkan juga mengandung doktrin sufistik yang sangat dahsyat.

Di antara Ucapan Abul Hasan asy-Syadzili:

Pengelihatan akan yang Haqq telah mewujud atasku, dan takkan meninggalkan aku, dan lebih kuat dari apa yang dapat dipikul, sehingga aku memohon kepada Tuhan agar memasang sebuah tirai antara aku dan Dia. Kemudian sebuah suara memanggilku, katanya " Jika kau memohon kepada-Nya yang tahu bagaimana memohon kepada-Nya, maka Dia tidak akan memasang tirai antara kau dan Dia. Namun memohonlah kepada-Nya untuk membuatmu kuat memiliki-Nya."Maka akupun memohon kekuatan dari Dia pun membuatku kuat, segala puji bagi Tuhan!

Aku pesan oleh guruku (Abdus Salam ibn Masyisy ra): "Jangan anda melangkahkan kaki kecuali untuk sesuatu yang dapat mendatangkn keridhoan Allah, dan jangan duduk dimajelis kecuali yang aman dari murka Allah. Jangan bersahabat kecuali dengan orang yang membantu berbuat taat kepada Allah. Jangan memilih sahabat karib kecuali orang yang menambah keyakinanmu terhadap Allah."

Seorang wali tidak akan sampai kepada Allah selama ia masih ada syahwat atau usaha ihtiar sendiri.

Janganlah yang menjadi tujuan doamu itu adalah keinginan tercapainya hajat kebutuhanmu. Dengan demikian engkau hanya terhijab dari Allah. Yang harus menjadi tujuan dari doamu adalah untuk bermunajat kepada Allah yang memeliharamu dari-Nya.

Seorang arif adalah orang yang megetahui rahasia-rahasia karunia Allah di dalam berbagai macam bala' yang menimpanya sehari-hari, dan mengakui kesalahan-kesalahannya didalam lingkungan belas kasih Allah kepadanya.

Sedikit amal dengan mengakui karunia Allah, lebih baik dari banyak amal dengan terus merasa kurang beramal.

Andaikan Allah membuka nur (cahaya) seorang mu'min yang berbuat dosa, niscaya ini akan memenuhi antara langit dan bumi, maka bagaimanakah kiranya menjelaskan : "Andaikan Allah membuka hakikat kewalian seorang wali, niscaya ia akan disembah, sebab ia telah mengenangkan sifat-sifat Allah SWT.

tarekat Syadziliah-2

Mengenai dzikir yang merupakan suatu hal yang mutlak dalam tareqat, secara umum pada pola dzikir tareqat ini biasanya bermula dengan Fatihat adz-dzikir. Para peserta duduk dalam lingkaran, atau kalau bukan, dalam dua baris yang saling berhadapan, dan syekh di pusat lingkaran atau diujung barisan. Khusus mengenai dzikir dengan al-asma al-husna dalam tareqat ini, kebijakjsanaan dari seorang pembimbing khusus mutlak diperlukan untuk mengajari dan menuntun murid. Sebab penerapan asma Allah yang keliru dianggap akan memberi akibat yang berbahaya, secara rohani dan mental, baik bagi sipemakai maupun terhadap orang-orang disekelilingnya. Beberapa contoh penggunaan Asma Allah diberikan oleh Ibn Atha'ilah berikut: "Asma al-Latif," Yang Halus harus digunakan oleh seorang sufi dalam penyendirian bila seseorang berusaha mempertahankan keadaan spiritualnya; Al-Wadud, Kekasih yang Dicintai membuat sang sufi dicintai oleh semua makhluk, dan bila dilafalkan terus menerus dalam kesendirian, maka keakraban dan cinta Ilahi akan semakin berkobar; dan Asma al-Faiq, "Yang Mengalahkan" sebaiknya jangan dipakai oleh para pemula, tetapi hanya oleh orang yang arif yang telah mencapai tingkatan yang tinggi.

Tareqat Syadziliyah terutama menarik dikalangan kelas menengah, pengusaha, pejabat, dan pengawai negeri. Mungkin karena kekhasan yang tidak begitu membebani pengikutnya dengan ritual-ritual yang memberatkan seperti yang terdapat dalam tareqat-tareqat yang lainnya. Setiap anggota tareqat ini wajib mewujudkan semangat tareqat didalam kehidupan dan lingkungannya sendiri, dan mereka tidak diperbolehkan mengemis atau mendukung kemiskinan. Oleh karenanya, ciri khas yang kemudian menonjol dari anggota tareqat ini adalah kerapian mereka dalam berpakaian. Kekhasan lainnya yang menonjol dari tareqat ini adalah "ketenagan" yang terpancar dari tulisan-tulisan para tokohnya, misalnya: asy-Syadzili, Ibn Atha'illah, Abbad. A Schimmel menyebutkan bahwa hal ini dapat dimengerti bila dilihat dari sumber yang diacu oleh para anggota tareqat ini. Kitab ar-Ri'ayah karya al-Muhasibi. Kitab ini berisi tentang telaah psikologis mendalam mengenai Islam di masa awal. Acuan lainnya adalah Qut al-Qulub karya al-Makki dan Ihya Ulumuddin karya al-Ghozali. Ciri "ketenangan" ini tentu sja tidak menarik bagi kalangan muda dan kaum penyair yang membutuhkan cara-cara yang lebih menggugah untuk berjalan di atas Jalan Yang Benar.

Disamping Ar-Risalahnya Abul Qasim Al-Qusyairy serta Khatamul Auliya'nya, Hakim at-Tirmidzi. Ciri khas lain yang dimiliki oleh para pengikut tareqat ini adalah keyakinan mereka bahwa seorang Syadzilliyah pasti ditakdirkan menjadi anggota tareqat ini sudah sejak di alam Azali dan mereka percaya bahwa Wali Qutb akan senantiasa muncul menjadi pengikut tareqat ini.

Tidak berbeda dengan tradisi di Timur Tengah, Martin menyebutkan bahwa pengamalan tareqat ini di Indonesia dalam banyak kasus lebih bersifat individual, dan pengikutnya relatif jarang, kalau memang pernah, bertemu dengan yang lain. Dalam praktiknya, kebanyakan para anggotanya hanya membaca secara individual rangaian-rangkaian doa yang panjang (hizb), dan diyakini mempunyai kegunaan-kegunaan megis. Para pengamal tareqat ini mempelajari berbagai hizib, paling tidak idealnya, melalui pengajaran (talkin) yang diberikan oleh seorang guru yang berwewenang dan dapat memelihara hubungan tertentu dengan guru tersebut, walaupun sama sekali hampir tidak merasakan dirinya sebagai seorang anggota dari sebuah tareqat.

Hizb al-Bahr, Hizb Nashor, disamping Hizib al-Hafidzah, merupaka salah satu Hizib yang sangat terkenal dari as-Syadzilli. Menurut laporan, hizib ini dikomunikasikan kepadanya oleh Nabi SAW. Sendiri. Hizib ini dinilai mempunyai kekuatan adikodrati, yang terutama dugunakan untuk melindungi selama dalam perjalanan. Ibnu Batutah menggunakan doa-doa tersebut selama perjalanan-perjalanan panjangnya, dan berhasil. Dan di Indonesia, dimana doa ini diamalkan secara luas, secara umum dipercaya bahwa kegunaan megis doa ini hanya dapat "dibeli" dengan berpuasa atau pengekangn diri yang liannya dibawah bimbingan guru.

Hizib-hizib dalam Tareqat Syadzilliyah, di Indonesia, juga dipergunakan oleh anggota tareqat lain untuk memohon perlindungan tambahan (Istighotsah), dan berbagai kekuatan hikmah, seperti debus di Pandegelang, yang dikaitkan dengan tareqat Rifa'iyah, dan di Banten utara yang dihubungkan dengan tareqat Qadiriyah.

tarekat Syadziliah

Secara pribadi Abul Hasan asy-Syadzili tidak meninggalkan karya tasawuf, begitu juga muridnya, Abul Abbas al-Mursi, kecuali hanya sebagai ajaran lisan tasawuf, Doa, dan hizib. Ibn Atha'illah as- Sukandari adalah orang yang pertama menghimpun ajaran-ajaran, pesan-pesan, doa dan biografi keduanya, sehingga kasanah tareqat Syadziliyah tetap terpelihara. Ibn Atha'illah juga orang yang pertama kali menyusun karya paripurna tentang aturan-aturan tareqat tersebut, pokok-pokoknya, prinsip-prinsipnya, bagi angkatan-angkatan setelahnya.

Melalui sirkulasi karya-karya Ibn Atha'illah, tareqat Syadziliyah mulai tersebar sampai ke Maghrib, sebuah negara yang pernah menolak sang guru. Tetapi ia tetap merupakan tradisi individualistik, hampir-hampir mati, meskipun tema ini tidak dipakai, yang menitik beratkan pengembangan sisi dalam. Syadzili sendiri tidak mengenal atau menganjurkan murid-muridnya untuk melakukan aturan atau ritual yang khas dan tidak satupun yang berbentuk kesalehan populer yang digalakkan. Namun, bagi murid-muridnya tetap mempertahankan ajarannya. Para murid melaksanakan Tareqat Syadziliyah di zawiyah-zawiyah yang tersebar tanpa mempunyai hubungan satu dengan yang lain.

Sebagai ajaran Tareqat ini dipengaruhi oleh al-Ghazali dan al-Makki. Salah satu perkataan as-Syadzili kepada murid-muridnya: "Seandainya kalian mengajukan suatu permohonanan kepada Allah, maka sampaikanlah lewat Abu Hamid al-Ghazali". Perkataan yang lainnya: "Kitab Ihya' Ulum ad-Din, karya al-Ghozali, mewarisi anda ilmu. Sementara Qut al-Qulub, karya al-Makki, mewarisi anda cahaya." Selain kedua kitab tersebut, as-Muhasibi, Khatam al-Auliya, karya Hakim at-Tarmidzi, Al-Mawaqif wa al-Mukhatabah karya An-Niffari, Asy-Syifa karya Qadhi 'Iyad, Ar-Risalah karya al-Qusyairi, Al-Muharrar al-Wajiz karya Ibn Atah'illah.


Ketaqwaan terhadap Allah swt lahir dan batin, yang diwujudkan dengan jalan bersikap wara' dan Istiqamah dalam menjalankan perintah Allah swt.
Konsisten mengikuti Sunnah Rasul, baik dalam ucapan maupun perbuatan, yang direalisasikan dengan selalau bersikap waspada dan bertingkah laku yang luhur.
Berpaling (hatinya) dari makhluk, baik dalam penerimaan maupun penolakan, dengan berlaku sadar dan berserah diri kepada Allah swt (Tawakkal).
Ridho kepada Allah, baik dalam kecukupan maupun kekurangan, yang diwujudkan dengan menerima apa adanya (qana'ah/ tidak rakus) dan menyerah.
Kembali kepada Allah, baik dalam keadaan senang maupun dalam keadaan susah, yang diwujudkan dengan jalan bersyukur dalam keadaan senang dan berlindung kepada-Nya dalam keadaan susah.
Kelima sendi tersebut juga tegak diatas lima sendi berikut:

Semangat yang tinggi, yang mengangkat seorang hamba kepada derajat yang tinggi.
Berhati-hati dengan yang haram, yang membuatnya dapat meraih penjagaan Allah atas kehormatannya.
Berlaku benar/baik dalam berkhidmat sebagai hamba, yang memastikannya kepada pencapaian tujuan kebesaran-Nya/kemuliaan-Nya.
Melaksanakan tugas dan kewajiban, yang menyampaikannya kepada kebahagiaan hidupnya.
Menghargai (menjunjung tinggi) nikmat, yang membuatnya selalu meraih tambahan nikmat yang lebih besar.

Selain itu tidak peduli sesuatu yang bakal terjadi (merenungkan segala kemungkinan dan akibat yang mungkin terjadi pada masa yang akan datang) merupakan salah satu pandangan tareqat ini, yang kemudian diperdalam dan diperkokoh oleh Ibn Atha'illah menjadi doktrin utamanya. Karena menurutnya, jelas hal ini merupakan hak prerogratif Allah. Apa yang harus dilakukan manusia adalah hendaknya ia menunaikan tugas dan kewajibannya yang bisa dilakukan pada masa sekarang dan hendaknya manusia tidak tersibukkan oleh masa depan yang akan menghalanginya untuk berbuat positif.

Sementara itu tokohnya yang terkenal pada abad ke delapan Hijriyah, Ibn Abbad ar-Rundi (w. 790 H), salah seorang pensyarah kitab al-Hikam memberikan kesimpulan dari ajaran Syadziliyah: Seluruh kegiatan dan tindakan kita haruslah berupa pikiran tentang kemurahan hati Allah kepada kita dan berpendirian bahwa kekuasaan dan kekuatan kita adalah nihil, dan mengikatkan diri kita kepada Allah dengan suatu kebutuhan yang mendalam akan-Nya, dan memohon kepada-Nya agar memberi syukur kepada kita."

TAREKAT NAQSABANDIYAH -3

Peran Politik
Tidak semua perkembangan formatik yang berkenaan dengan Naqsyabandiyah berkaitan dengan Ghulam Ali Dihlavi dan keturunannya. Salah satu keturunan dari Ahmad Sirhindi didirikan di Syur Bazar di pinggiran Kabul pada pertengahan abad ke-19, dan para anggota cabang ini memainkan peranan penting dalam urusan negara Afghanistan hingga pembentukan negara pasca Komunis pertama pada tahun 1991. Di tempat lain di Asia Tengah, Naqsyabandiyah dari berbagai keturunan menonjol dalam perlawanannya terhapap Rusia dan sesudahnya. Dengan demikian pertahanan Goktepe oleh para Turkmen Akhel-Tekke diarahkan oleh seorang pengikut Naqysabandiyah, yaitu Muhammad Ali Ihsan (Dukchi Ikhsan). Naqsyabandiyah juga memimpin pemberontakan melawan pemerintah Cina di Xinjing pada tahun 1863 dan 1864 dan di Shannxi serta Gunsu antara 1862 dan 1873.

Ciri khas yang ditunjukan oleh kelompok Naqyabandiyah ini sering digambarkan dalam negara modern, terutama di Turki. Namun, di Turkli perlawanan Naqsyabandiyah terhadap sekulerisme selalu bersifat pasif (kecuali pemberontakan Sa'id). Penggambaran peristiwa Menemen 1931 sebagai konspirasi Naqsyabandiyah yang menyebabkan Syekh Muhammad As'ad (Mehmed Esad) dihukum mati secara adil, sekarang diragukan.

Sejumlah pemimpin Naqsyabandiyah menjadi orang penting sebagai guru spiritual dan intelektual: Mahmud Sami Ramazanoglu (w. 1984), pengganti Syekh Muhammad As'ad. Mehmed Zahid Kotku (w.1980), keturunan spiritual dari Gumushanevi bersama penggantinya Esad Gosan (sampai sekarang masih hidup) dan Resit Erol (w. 1994). Kegiatan mengajar para syekh ini beserta syekh lainnya secara alamiah memiliki pengaruh politik, namun cenderung mengarah pada pengintegrasian Naqsyabandiyah ke dalam struktur Republik Turki, dan bukan penolakan terhadap struktur tersebut. Penting dicatat bahwa beberapa pemimpin Naqsyabandiyah hadir secara menonjol di pemakaman Presiden Turki, Turgut Ozal pada 1993.

Kaum Naqsyabandiyah dalam jumlah dan kekuatan intelektualnya, tidak dapat digambarkan secara seragam dalam Dunia Islam sekarang ini.

Pengaruh mereka mungkin paling kuat di Turki dan wilayah Kurdistan, dan yang paling lemah adalah di Pakistan. Pada masa pemerintahan Soviet, pengaruh Naqsyabandiyah sangat terasa pada gerakan "Islam bawah tahan" di Kaukasus Asia Tengah. Namun, pada akhirnya pemerintahan Soviet tidak diikuti perkembangan Naqsyabandiyah di permukaan.

Berbagai Ritual dan Teknik Spiritual Naqsyabandiyah
Seperti tarekat-tarekat yang lain, Tarekat Naqsyabandiyah itu pun mempunyai sejumlah tata-cara peribadatan, teknik spiritual dan ritual tersendiri. Memang dapat juga dikatakan bahwa Tarekat Naqsyabandiyah terdiri atas ibadah, teknik dan ritual, sebab demikianlah makna asal dari istilah thariqah, "jalan" atau "marga". Hanya saja kemudian istilah itu pun mengacu kepada perkumpulan orang-orang yang mengamalkan "jalan" tadi.

Naqsyabandiyah, sebagai tarekat terorganisasi, punya sejarah dalam rentangan masa hampir enam abad, dan penyebaran yang secara geografis meliputi tiga benua. Maka tidaklah mengherankan apabila warna dan tata cara Naqsyabandiyah menunjukkan aneka variasi mengikuti masa dan tempat tumbuhnya. Adaptasi terjadi karena keadaan memang berubah, dan guru-guru yang berbeda telah memberikan penekanan pada aspek yang berbeda dari asas yang sama, serta para pembaharu menghapuskan pola pikir tertentu atau amalan-amalan tertentu dan memperkenalkan sesuatu yang lain. Dalam membaca pembahasan mengenai berbagai pikiran dasar dan ritual berikut, hendaknya selalu diingat bahwa dalam pengamalannya sehari-hari variasinya tidak sedikit.

Asas-asas
Penganut Naqsyabandiyah mengenal sebelas asas Thariqah. Delapan dari asas itu dirumuskan oleh 'Abd al-Khaliq Ghuzdawani, sedangkan sisanya adalah penambahan oleh Baha' al-Din Naqsyaband. Asas-asas ini disebutkan satu per satu dalam banyak risalah, termasuk dalam dua kitab pegangan utama para penganut Khalidiyah, Jami al-'Ushul Fi al-'Auliya. Kitab karya Ahmad Dhiya' al-Din Gumusykhanawi itu dibawa pulang dari Makkah oleh tidak sedikit jamaah haji Indonesia pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Kitab yang satu lagi, yaitu Tanwir al-Qulub oleh Muhammad Amin al-Kurdi dicetak ulang di Singapura dan di Surabaya, dan masih dipakai secara luas. Uraian dalam karya-karya ini sebagian besar mirip dengan uraian Taj al-Din Zakarya ("Kakek" spiritual dari Yusuf Makassar) sebagaimana dikutip Trimingham. Masing-masing asas dikenal dengan namanya dalam bahasa Parsi (bahasa para Khwajagan dan kebanyakan penganut Naqsyabandiyah India).

Asas-asasnya 'Abd al-Khaliq adalah:


Hush dar dam: "sadar sewaktu bernafas". Suatu latihan konsentrasi: sufi yang bersangkutan haruslah sadar setiap menarik nafas, menghembuskan nafas, dan ketika berhenti sebentar di antara keduanya. Perhatian pada nafas dalam keadaan sadar akan Allah, memberikan kekuatan spiritual dan membawa orang lebih hampir kepada Allah; lupa atau kurang perhatian berarti kematian spiritual dan membawa orang jauh dari Allah (al-Kurdi).

Nazar bar qadam: "menjaga langkah". Sewaktu berjalan, sang murid haruslah menjaga langkah-langkahnya, sewaktu duduk memandang lurus ke depan, demikianlah agar supaya tujuan-tujuan (ruhani)-nya tidak dikacaukan oleh segala hal di sekelilingnya yang tidak relevan.

Safar dar watan: "melakukan perjalanan di tanah kelahirannya". Melakukan perjalanan batin, yakni meninggalkan segala bentuk ketidaksempurnaannya sebagai manusia menuju kesadaran akan hakikatnya sebagai makhluk yang mulia. [Atau, dengan penafsiran lain: suatu perjalanan fisik, melintasi sekian negeri, untuk mencari mursyid yang sejati, kepada siapa seseorang sepenuhnya pasrah dan dialah yang akan menjadi perantaranya dengan Allah (Gumusykhanawi)].

Khalwat dar anjuman: "sepi di tengah keramaian". Berbagai pengarang memberikan bermacam tafsiran, beberapa dekat pada konsep "innerweltliche Askese" dalam sosiologi agama Max Weber. Khalwat bermakna menyepinya seorang pertapa, anjuman dapat berarti perkumpulan tertentu. Beberapa orang mengartikan asas ini sebagai "menyibukkan diri dengan terus menerus membaca dzikir tanpa memperhatikan hal-hal lainnya bahkan sewaktu berada di tengah keramaian orang"; yang lain mengartikan sebagai perintah untuk turut serta secara aktif dalam kehidupan bermasyarakat sementara pada waktu yang sama hatinya tetap terpaut kepada Allah saja dan selalu wara'. Keterlibatan banyak kaum Naqsyabandiyah secara aktif dalam politik dilegitimasikan (dan mungkin dirangsang) dengan mengacu kepada asas ini.

Yad kard: "ingat", "menyebut". Terus-menerus mengulangi nama Allah, dzikir tauhid (berisi formula la ilaha illallah), atau formula dzikir lainnya yang diberikan oleh guru seseorang, dalam hati atau dengan lisan. Oleh sebab itu, bagi penganut Naqsyabandiyah, dzikir itu tidak dilakukan sebatas berjamaah ataupun sendirian sehabis shalat, tetapi harus terus-menerus, agar di dalam hati bersemayam kesadaran akan Allah yang permanen.

Baz gasyt: "kembali", " memperbarui". Demi mengendalikan hati supaya tidak condong kepada hal-hal yang menyimpang (melantur), sang murid harus membaca setelah dzikir tauhid atau ketika berhenti sebentar di antara dua nafas, formula ilahi anta maqsudi wa ridlaka mathlubi (Ya Tuhanku, Engkaulah tempatku memohon dan keridlaan-Mulah yang kuharapkan). Sewaktu mengucapkan dzikir, arti dari kalimat ini haruslah senantiasa berada di hati seseorang, untuk mengarahkan perasaannya yang halus kepada Tuhan semata.

Nigah dasyt: "waspada". Yaitu menjaga pikiran dan perasaan terus-menerus sewaktu melakukan dzikir tauhid, untuk mencegah agar pikiran dan perasaan tidak menyimpang dari kesadaran yang tetap akan Tuhan, dan untuk memlihara pikiran dan perilaku seseorang agar sesuai dengan makna kalimat tersebut. Al-Kurdi mengutip seorang guru (anonim): "Kujaga hatiku selama sepuluh hari; kemudian hatiku menjagaku selama dua puluh tahun."

Yad dasyt: "mengingat kembali". Penglihatan yang diberkahi: secara langsung menangkap Zat Allah, yang berbeda dari sifat-sifat dan nama-namanya; mengalami bahwa segalanya berasal dari Allah Yang Esa dan beraneka ragam ciptaan terus berlanjut ke tak berhingga. Penglihatan ini ternyata hanya mungkin dalam keadaan jadzbah: itulah derajat ruhani tertinggi yang bisa dicapai.


Asas-asas Tambahan dari Baha al-Din Naqsyabandi:

Wuquf-i zamani: "memeriksa penggunaan waktu seseorang". Mengamati secara teratur bagaimana seseorang menghabiskan waktunya. (Al-Kurdi menyarankan agar ini dikerjakan setiap dua atau tiga jam). Jika seseorang secara terus-menerus sadar dan tenggelam dalam dzikir, dan melakukan perbuatan terpuji, hendaklah berterimakasih kepada Allah, jika seseorang tidak ada perhatian atau lupa atau melakukan perbuatan berdosa, hendaklah ia meminta ampun kepada-Nya.

Wuquf-i 'adadi: "memeriksa hitungan dzikir seseorang". Dengan hati-hati beberapa kali seseorang mengulangi kalimat dzikir (tanpa pikirannya mengembara ke mana-mana). Dzikir itu diucapkan dalam jumlah hitungan ganjil yang telah ditetapkan sebelumnya.

Wuquf-I qalbi: "menjaga hati tetap terkontrol". Dengan membayangkan hati seseorang (yang di dalamnya secara batin dzikir ditempatkan) berada di hadirat Allah, maka hati itu tidak sadar akan yang lain kecuali Allah, dan dengan demikian perhatian seseorang secara sempurna selaras dengan dzikir dan maknanya. Taj al-Din menganjurkan untuk membayangkan gambar hati dengan nama Allah terukir di atasnya.

TAREKAT NAQSABANDIYAH-2

Pengaruh Maulana Khalid mungkin paling nampak di kampung halamannya, Kurdistan. Cabang Naqsyabandiyah yang beliau perkenalkan di sana sepenuhnya memudarkan pengaruh "Qadiriyah", yang sebelumnya merupakan tarekat paling menonjol di wilayah Kurdistan, dan memunculkan sejumlah keluarga sebagai pemimpin turunan tarekat itu, serta memegang kepemimpinan dalam urusan negara Kurdistan. Hubungan keturunan Naqsyabandiyah dengan separatisme Kurdistan, dan kemudian nasionalisme, pertama kali terlihat dalam pemberontakan besar Kurdistan 1880 yang dipimpim oleh Ubaidillah dari Syamdinan, yang berhasil membebaskan diri, untuk sementara, sebagian besar orang Kurdistan Iran dari kendali Iran. Keluarga Barzani juga mampu mendominasi ungkapan nasionalisme Irak selama beberapa puluh tahun melalui wibawa Naqsabandiyah yang diwarisinya.

Khalidiyah juga mengakar dengan cepat dan tepat di Daghestan, wilayah pegunungan yang terletak di pertemuan Kaukasus dan Rusia Selatan.

Wilayah ini pertama kali diperkenalkan dengan Naqsyabandiyah pada akhir abad ke-18, tetapi kedatangan Khalidiyah yang membuat wilayah itu menjadi daerah Naqsyabandi semasa hidup Maulana Khalid. Penekanan ganda Khalidiyah di Daghestan adalah penggantian hukum-kebiasaan (cotumary law) non Islam menjadi syari'at dan perlawanan terhadap pemerintah Rusia. Pemimpin Naqsyabandiyah pertama untuk orang Daghestan adalah Ghazi Muhammad, yang meninggal dibunuh oleh orang Rusia pada 1832, dan penggantinya dua tahun kemudian mengalami nasib yang sama. Sebaliknya Syamil, yang kemudian mengambil kepemimpinan gerakan itu, mampu menahan Rusia hingga 159, salah satu perlawanan Muslim terhadap imperialisme Eropa yang terlama dan terkenal. Pengaruh Naqsyabandiyah di Daghestan ternyata sulit dicabut; kaum Naqsyabandiyah aktif dalam pemberontakan 1877 oleh Daghestan dan Chechenia yang berjaya pada rentang waktu antara runtuhnya tsar Rusia dan pembentukan pemerintahan Soviet.

Wilayah populasi Muslim lain yang diperintah oleh Rusia yang ternyata menerima Khalidiyah adalah Volga-Ural (sekarang Tatarstan dan Baskira).

Wakil Maulana Khalid di Makkah, Abdullah Makki (Erzincani), menerima seorang murid dari Kazan, Fatsullah Menavusi; namun, yang pengaruhnya terbukti menentukan adalah pengikut Ghumushaveni asal Basykar, Syekh Zainullah Rasulev dari Troisk. Semula Rasulev adalah pengikut garis mujaddidiyah yang pergi ke Bukhara, kemudian mengalihkan kesetiaanya kepada Gumushaveni setelah berkunjung ke Istambul pada 1870. Ketika kembali, dia mempropagandakan Khalidiyah sehingga membangkitkan permusuhan dari para pesaingnya dan menimbulkan kecurigaan dari pihak berwenang Rusia; hal ini mengakibatkan Rasulev dipenjara dan diasingkan. Kemudian bebas lagi pada 1881 dia memperkukuh dan memperkuat pengikutnya sehingga ratusan murid berada di bawah pengaruhnya; mereka tidak hanya tersebar diwilayah Volga-Ural, tetapi juga di Kazakhstan dan Siberia. Tatkala kematian tiba pada 1917, dia disebut sebagai "raja spiritual rakyatnya", dan setelah kematiannya wibawa Rasulev tetap terus bergaung sampai pada periode Soviet: tiga kepala Direktorat Spiritual untuk kaum Muslim Rusia Eropa dan Siberia yang berfungsi di bawah pengawasan Soviet adalah murid-murid Rasulev.

Akhirnya, Khalidiyah memastikan pula penanaman pengaruh Naqsyabandiyah secara permanen di dunia Melayu Indonesia. Abdullah Makki mempunyai murid dari Sumatera yaitu Ismail Minangkabawi. Setelah lama menetap di Makkah, Minangkabawi menetap di Penyengat wilayah kepulauan Riau. Di sana, ia memperoleh kesetiaan dari keluarga pemerintahan, yang sudah mulai diperkenalkan pada Naqsyabandiyah oleh Duta-duta pemerintah yang dikirim dari Madinah oleh Muhammad Mazhhar. Dia juga pergi ke Melayu hingga Kedah, mempropagandakan Khalidiyah ke mana pun ia pergi. Namun usahanya merupakan rintisan, dan digantikan oleh kegiatan dua Khalidiyah yang tinggal di Makkah yaitu Khalil Hamdi Pasya dan Syekh Sulaiman Zuhdi. Kenyataan bahwa kedua orang ini adalah pesaing, saling menuduh bahwa yang lainnya adalah menyimpang dari prinsip Naqsyabandiyah, menyiratkan betapa dunia Melayu Indonesia menjadi sumber pengikut yang kaya untuk Naqsyabandiyah. Dalam jangka panjang, Sulaiman Zuhdi lebih berhasil dari pada pesaingya, hingga Jabal Abi Qubais di Makkah, tempat dia tinggal, dipandang sebagai sumber seluruh Tarekat Naqsyabandiyah di Asia Tenggara. Di antara murid ini banyak yang mendirikan Khalidiyah di berbagai tempat di Sumatera, Jawa dan Sulawesi, yang paling penting adalah Abdil Wahab Rokan (w. 1926). Beliau dikirim dari Makkah pada tahun 1868 dengan misi untuk menyebarkan Khalidiyah di seluruh Sumatera, dari Aceh sampai Palembang -- misi yang beliau dilaksanakan dengan sukses besar adalah dari pesantrennya di Bab Al-Salam, Lengkat-Tinggal menetap selama tiga tahun di Johor, dan memungkinkan dia untuk memperluas pengaruhnya lebih jauh ke Semenanjung Malaya.

Praktik Naqsyabandiyah di Dunia Melayu Indonesia sejak dini sangat berbeda dengan adanya ritual yang disebut dengan suluk, yakni menyendiri dengan jangka waktu yang berbeda-beda dan sebagian diiringi dengan puasa. Asal usul praktik ini sangat berbeda dengan tradisi Naqsyabandiyah yang tidak diketahui. Putusnya hubungan dengan Makkah akibat penaklukan Hijaz oleh kaum Wahabiyah makin menambah ciri khas bagi kaum Naqsyabandiyah di Melayu Indonesia.

TAREKAT NAQSABANDIYAH

Naqsyabandiyah merupakan salah satu tarekat sufi yang paling luas penyebaran nya, dan terdapat banyak di wilayah Asia Muslim (meskipun sedikit di antara orang-orang Arab) serta Turki, Bosnia-Herzegovina, dan wilayah Volga Ural. Bermula

di Bukhara pada akhir abad ke-14, Naqsyabandiyah mulai menyebar ke daerah-daerah tetangga dunia Muslim dalam waktu seratus tahun. Perluasannya mendapat dorongan baru dengan munculnya cabang Mujaddidiyah, dinamai menurut nama Syekh Ahmad Sirhindi Mujaddidi Alf-i Tsani ("Pembaru Milenium kedua", w. 1624). Pada akhir abad ke-18, nama ini hampir sinonim dengan tarekat tersebut di seluruh Asia Selatan, wilayah Utsmaniyah, dan sebagian besar Asia Tengah. Ciri yang menonjol dari Tarekat Naqsyabandiyah adalah diikutinya syari'at secara ketat, keseriusan dalam beribadah menyebabkan penolakan terhadap musik dan tari, serta lebih mengutamakan berdzikir dalam hati, dan kecenderungannya semakin kuat ke arah keterlibatan dalam politik (meskipun tidak konsisten).

Sejarah
Kebanyakan orang Naqsyabandiyah Mujaddidiyah dalam dua abad ini menelusuri keturunan awal mereka melalui Ghulam Ali (Syekh Abdullah Dihlavi [m. 1824]), karena pada awal abad ke-19 India adalah pusat organisasi dan intelektual utama dari tarekat ini. Khanaqah (pondok) milik Ghulam Ali di Delhi menarik pengikut tidak hanya dari seluruh India, tetapi juga dari Timur Tengah dan Asia Tengah. Hingga kini Khanaqah masih tetap (pernah mengalami masa tidak aktif akibat perampasan Delhi oleh orang Inggris pada tahun 1857). Namun fungsi Pan-Islami-nya sebagian besar diwarisi oleh para wakil dan pengganti Ghulam Ali yang menetap di tempat-tempat lain di Dunia Muslim. Yang terpenting adalah para syekh yang tinggal di Makkah dan Madinah: kedua kota suci ini menyebarkan Tarekat Naqsyabandiyah di banyak tanah Muslim sampai terjadinya penaklukan Hijaz oleh kaum Wahabiyah pada 1925, yang mengakibatkan dilarangnya seluruh aktivitas sufi. Demikianlah, Muhammad Jan Al-Makki (w. 1852), wakil Ghulam Ali di Makkah, menerima banyak peziarah Turki dan Basykir, yang kemudian mendirikan cabang-cabang baru Naqsyabandiyah di kampung halamannya. Pengganti Ghulam Ali yang pertama di Khanaqah Delhi, Abi Sa'id, melewatkan beberapa waktu di Hijaz untuk menerima pengikut baru. Anak dan pengganti Abu Sa'id, Syekh Ahmad Sa'id, memilih tinggal di Madinah setelah suatu peristiwa besar pada tahun 1857, memindahkan arah

Naqsyahbandiyah India ke Hijaz untuk sementara. Ketiga putra Ahmad Sa'id sama-sama memperoleh warisannya: dua orang pergi ke Mekkah dan menarik pengikut dari India serta Turki di sana. Sementara yang ketiga, Muhammad Mazhhar, tetap di Madinah dan mengelola pengikut yang terdiri dari ulama dan pengikut dari India, Turki Daghestan, Kazan, dan Asia Tengah. Namun, yang paling penting dari pengikut Muhammad Mazhhar adalah seorang Arab, Muhammad Salih al-Zawawi dan murid-muridnya yang tidak merasakan kebencian, yang umumnya ditujukan kepada Ulama Pribumi terhadap orang-orang non Arab dalam masyarakat mereka.

Sebagai guru fiqih Syafi'i, dia memiliki akses khusus terhadap orang-orang Indonesia dan orang-orang Melayu yang berkumpul di Hijaz, serta berkat al-Zawawi dan murid-muridnyalah Naqsyabandiyah dikenal secara serius di Asia Tenggara. Di Pontianak di pantai barat Kalimantan, masih terdapat berbagai jejak garis Naqsyabandiyah yang terpancar dari Hijaz ini.

Dorongan yang membawa Naqsyabandiyah ke zaman modern berasal dari pengganti Ghulam Ali yang lainnya. Maulana Khalid al-Bagdhadi (w. 1827). Beliau mempunyai peranan yang penting di dalam perkembangan tarekat ini sehinga keturunan dari para pengikutnya dikenal sebagai kaum Khalidiyah, dan dia kadang-kadang dipandang sebagai "Pemburu" (Mujaddid) Islam pada abad ke-13, sebagaimana Srihindi dipandang sebagai pemburu Milenium kedua. Khalidiyah tidak terlalu berbeda dengan para leluhurnya Mujaddidiyah. Yang baru adalah usaha Maulana Khalid untuk menciptakan tarekat yang terpusat dan disiplin, terfokus pada dirinya pribadi, dengan cara ibadah yang disebut Rabithah ("petautan") atau konsentrasi pada citra Maulana Khalid sebelum berdzikir. Usaha ini selanjutnya terkait dengan sikap politik, aktivitas, yang bertujuan untuk mengamankan supremasi syari'at dalam masyarakat Muslim dan menolak agresi Eropa. Setelah kematian Maulana Khalid, tidak ada kepemimpinan yang terpusat, tetapi sikap politik yang mendasari upaya tersebut tetap hidup.

Lahir di Distrik Syahrazur di Kurdistan Selatan pata 1776, Maulana Khalid melewatkan waktu sekitar satu tahun bersama Ghulam Ali di Delhi sebelum kembali ke kampung halamannya pada 1881 dengan "wewenang lengkap dan mutlak" sebagai wakilnya. Sebelum meninggalkan Delhi, Maulana Khalid memberi tahu gurunya bahwa tujuan utamanya adalah untuk "mencari dunia ini demi agama", dari tiga tempat tinggalnya setelah itu Sulaimaniyah, Bagdad dan Damaskus, beliau mendirikan jaringan 116 wakil, yang masing-masing dengan tanggung jawab yang jelas batas geografisnya. Murid-muridnya mencakup tidak hanya anggota-anggota hierarki agama pemerintahan "Utsmaniyah", tetapi juga sejumlah gubernur provinsi dan tokoh militer yang sangat penting dalam memajukan wibawa Khalidiyah adalah wakil kedua Maulana Khalid di Istambul, Abdul al-Wahhab al-Susi, yang merekrut Makkizada Musthafa Asim, syekh al-Islam masa itu ke dalam tarekat ini. Usaha untuk meraih pengaruh atas kebijakan Utsmaniyah yang disiratkan oleh berbagai upaya ini tidak pernah benar-benar berhasil.

Namun, terjadi semacam penyejajaran antara Khalidiyah dengan negara Utsmaniyah pada masa pemeritahan Abdulhamid II, yang berteman dengan Khalidiyah terkemuka di Istambul, Ahmed Ziyauddin Gumushanevi (w. 1893). Kepentingan Gumushanevi jauh mentransendenkan yang politis: tulisannya yang dimiliki banyak mengenai sufisme pada umumnya dan Naqsyabandiyah pada khususnya, mewakili puncak sastra sufi Utsmaniyah besar yang terakhir. Sebaliknya, Adbulhamid sangat ditentang oleh Syekh Naqsyabandiyah yang menonjol lainnya, Muhamad As'ad dari Ibril wilayah Irak Utara.

Jumat, 21 Mei 2010

Wasiat Sultan Auliya Abdul Qodir Jilany

Bismilahir Rahmanir rahiim

Satu
Melaksanakan perintah Allah, menjauhi larangan-Nya, dan ridho atas ketentuan-Nya

Tiga hal yang harus dimiliki dan diamalkan oleh setiap mukmin dalam segala ruang dan waktu yaitu:
1. Menjaga dan melaksanakan perintah-perintah Allah dengan tulus dan ikhlas;
2. Menghindari diri dari segala yang haram baik nyata maupun samara;
3. rida menerima takdir Allah Yang Mahakuasa.

Dengan demikian, minimal seseorang yang beriman harus memiliki tiga hal sebagaimana tersebut di atas dan harus diusahakan untuk dapat mendarah daging dalam tubuhnya. Ia harus mengikta diri kepada tiga hal ke mana dan di mana dia berada serta dalam keadaan bagaimanapun juga.

Dua
Mengikuti sunnah Rasul SAW, menjauhi bida’ah, dan bersikap istiqamah

1. Seorang muslim harus mengikuti sunnah Rasul SAW dengan penuh keyakinan (keimanan).
2. Seorang muslim tidak sekali-kali melakukan perbuatan bid’ah
3. Seorang muslim harus mematuhi segala yang diperintahkan dan dilarang Allah SWT serta rasul-Nya
4. Seorang muslim harus menjunjung tinggi tauhid, jangan sekali-kali menyekutukan Dia (Allah SWT)
5. Seorang muslim harus menyucikan Dia (Allah) senantiasa, dan jangan sekali-kali menisbahkan suatu keburukan pun kepada-Nya
6. Seorang muslim harus mempertahankan kebenaran-Nya dan hendaklah jangan meragukan sedikitpun atas kebenaran tersebut.
7. Seorang muslim harus bersabar selalu, dalam setiap keadaan dan jangan sekali-kali menunjukan sifat ketidaksabaran.
8. Seorang muslim hendaknya mempunyai sifat isqtiqamah
9. Seorang muslim harus mempunyai pengharapan kepada Allah dengan sabar dan jangan kesal
10. Seorang muslim harus bekerja sama dengan sesame muslim dalam menjalankan amal dan ketaatan, jangan berpecah-pecah, saling mencintai, dan jangan mendendam
11. Seorang muslim harus menjauhi kejahatan dan jangan sekali-kali ternoda oleh kejahatan tersebut
12. Seorang muslim harus menghiasi dirinya dengan ketaatan kepada Tuhanmu.
13. Seorang muslim jangan sekali-kali menjauhi pintu-pintu Tuhan.
14. Seorang muslim jangan sekali-kali berpaling dari-Nya.
15. Seorang muslim hendaknya menyegerakan bertobat atas dosa yang telah dilakukan, jangan ditunda-tunda.
16. Seorang muslim tidak bosan-bosan untuk memohon ampunan kepada Allah siang dan malam.

Apabila seorang muslim telah berlaku demikian, ia akan mendapatkan rahmat dari Nya dan dijauhkan dari api neraka. Hidup bahagia di surga yang kekal. Kelak di akhirat, ia akan bertemu Allah, menikmati rahmat-Nya.
Di surga, ia bersama bidadari, mengendarai kuda-kuda yang berwarna putih. Bersuka ria dengan hurhur bermata putih, menghirup aneka aroma, dan diiringi melodi-melodi para hamba sahaya wanita yang cantik. Ia akan dimuliakan bersama Nabi, para siddiqin, para syahiddin, dan para salihin lainnya di surga yang tertinggi.

Tiga
Memohon pertolongan kepada Allah Azza wa Jalla

Seandainya seorang hamba Allah mendapatkan kesulitan dalam hidupnya, pertama sekali ia harus berusaha mengatasinya dengan daya dan upayanya sendiri. Jika tak mampu mengatasi kesulitanya sendiri, hendaknya ia meminta pertolongan kepada sesamanya, misalnya kepada pejabat, hartawan, dan penguasa lainnya, atau tetangganya. Jika ia sakit hendaknya pergi ke tabib (dokter). Apabila masih juga tak berhasil, pertolongan terakhir yang diharapkan hendaknya kepada Khaliq-nya (Allah swt), Tuhan Yang Mahabesar lagi Mahakuasa. Caranya ialah dengan memanjatkan doa dengan diiringi kerendahan hati serta pujian-pujian untuk-Nya.

Apabila pertolongan itu tiada kunjung data dari Allah, jangan berputus asa. Ia harus menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, memuji dan memohon dengan penuh harap dan cemas. Apabila Allah tidak kunjung mengabulkan permohonannya dan doanya, ia harus meninggalkan segala yang berurusan dengan duniawi. Kemudian ia mencurahkan segala-galanya untuk kepentingan rohaninya (kepentingan akhirat).

Pada tingkatan ini, ia akan merasakan atau melihat dengan mata batinya atas kehendak Allah. Dan, sampailah ia kepada keesaan-Nya dan kekuasaan-Nya.

Pada tahap ini ia akan menduduki haqqul yaqin (keyakinan yang hak/tinggi). Keyakinan tentang apakah itu?

Keyakinan yang dimaksudkan ialah tentang hakikat bahwa segala sesuatu itu tiada yang menggerakannya, kecuali Allah, tiada yang menghentikan, kecuali Allah Swt. Tiada kekayaan dan kemiskinan, kecuali Allah yang menghendakinya. Di hadapan Allah, seseorang bagaikan bayi di tangan dukun beranak atau mayat yang dimandikan, atau bola di kaki pemainnya. Tak kuasa apapun, kecuali kehendak Allah Swt. Dengan demikian, ia tak akan melihat, kecuali hanya kepada Allah. Tak akan mendengar, kecuali hanya dari Allah; jika mendapat sesuatu – menyenangkan atau menyedihkan – diyakini semata karena Allah belaka. Jika mendengarkan sesuatu, yang didengar adalah firman Allah melalui ilmu-Nya. Ia akan mendapatkan karunia-Nya dan mendapatkan keberuntungan karena mampu mendekatkan diri kepada-Nya. Ia menjadi mulia, rida atas segala yang dijumpainya. Ia merasa puas atas segala yang menimpanya, baik yang menyenangkan maupun yang menyakitkan .

Akhirnya, ia rindu selalu kepada Allah, ingin terus memuji dan berzikir. Segala sesuatu dalam hidupnya bertumpu kepada Allah semata. Ia mendapatkan nur dari Allah karena ilmu Allah itu sendiri. Ia dimuliakan karena ilmu Allah juga. Dengan begitu, senantiasa puji dan syukur tercurahkan kepada Allah Yang Mahakuasa saja.

Empat
Mengharap rahmat Allah Azza wa Jalla

Jika engkau abaikan ciptaan, semoga Allah merahmatimu . Semoga Allah membunuh kehendakmu (yang tak baik) dan Dia menempatkanmu dalam kehidupan yang baru dan mulia.

Sekarang dirimu mendapatkan karunia berupa kehidupan yang abadi, mendapat kekayaan dan kebahagian yang abadi, dan mendapat rahmat dan ilmu sehingga tak mengenal kebodohan.
Engkau dilindungi Allah dari rasa takut. Engka dimuliakan sehingga tidak hina lagi dan selalu dekat kepada Allah sehingga menjadi tumpuan harapan bagi orang2 yang memohon kepada Allah melalui dirimu.

Kau menjadi pengganti rasul, para nabi dan shadiqqin. Kau adalah puncak wilayat dan para wali yang masih hidup mengerumunimu. Segala masalah dapat engkau selesaikan dan kau temukan jalan keluarnya. Sawah ladang berpanen melimpah ruah berkat doamu. Lenyapnya penderitaan umat juga melalui doamu. Orang-orang banyak yang datang dan bergegas menemuimu membawa bingkisan dan hadiah serta mengabdi kepadamu. Pengabdian dalam segala hal kehidupan. Semua itu karena ijin Sang Pencipta. Mereka senantiasa mendoakanmu. Tak ada dua mukmim yang memperselisihkan engkau. Inilah rahmat Allah SWT, wahai manusia. Dan Allah Pemilik segala rahmat.

Lima
Menghindari dunia
Jika engkau melihat dunia ini berada di tangan orang lain, janganlah takjub Dunia itu memang penuh dengan hiasan, tetapi di sisi lain penuh dengan racun yang mematikan. Tampaknya lembut, tetapi membahayakan bagi yang merabanya. Dunia pada hakikatnya mengecoh dan membuat manusia menyepelekan keburukan dari tipu daya dan janji-janji palsunya.

Apabila melihat yang demikian itu, hendaknya kau berlaku seakan-akan menghadapi orang yang sombong, sewenang-wenang, dan berbau busuk. Ibaratkanlah dunia itu seperti demikian. Jika melihat situasi yang demikian, berpalinglah dari kebusukannya. Tutuplah hidungmu agar tak menghirup bau amisnya. Tutuplah hidung dan telingamu dari bau dan suara hawa nafsu walaupun segala kenikmatan yang tersimpan di dalamnya menghampirimu. Allah SWT telah berfirman kepada nabi pilihannya (Muhammad saw)

وَلا تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ إِلَى مَا مَتَّعْنَا بِهِ أَزْوَاجًا مِنْهُمْ زَهْرَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا لِنَفْتِنَهُمْ فِيهِ وَرِزْقُ رَبِّكَ خَيْرٌ وَأَبْقَى

Janganlah engkau tujukan kedua matamu kepada (perhiasan) yang kami berikan kepada bermacam-macam orang di antara mereka, sebagai bunga kehidupan di dunia, supaya mereka Kami cobai denganya. Dan rezeki Tuhanmu (dalam surga) lebih baik dan lebih kekal (QS 20:131)

Enam
Beribadah hanya karena Allah SWT
Apabila melaksanakan perintah Allah, tanggalkan pandangan manusia yang tertuju kepadamu dan tanggalkan kepentingan pribadimu dan hendaknya engkau tujukan kepada Allah saja.

Untuk menghindari pandangan manusia – yang memuji – atas amalanmu dalam melaksanakan perintah Allah, menghindarlah dari mereka, asingkan diri sepenuhnya dan bebaskan jiwamu dari segala harapan mereka. Lenyapkanlah segala nafsumu. Adapun tanda lenyapnya nafus ialah:

1. meninggalkan kesibukan mengejar duniawi;
2. berhubungan dengan mereka hanya untuk mendapatkan manfaat;
3. cenderung menghindarkan diri dara kemudaratan;
4. tidak menggantunkan diri sendiri dalam masalah pribadi.
5. tidak membantu melindungi diri sendiri, tetapi memasrahkan diri sepenuhnya kepada Allah SWT, karena Dia-lah Yang Mahakuasa.

Kemauan itu dapat lenyap dari jiwamu. Kemauan yang dimaksud ialah yang didorong oleh hawa nafsu. Adapun lenyapnya kemauan atas kehendak Allah itu ditandai sebagai berikut:

1. tidak pernah menurutkan keinginan, tak merasa butuh, tidak mempunyai tujuan, kecuali hanya satu tujuan dan satu kebutuhan, yakni kepada Allah SWT belaka;

2. kehendak Allah akan berwujud pada dirimu, sehingga jika kehendaknya bereaksi, tubuhmu menjadi pasif, namun hatimu tenang, pikiranmu jernih, nurani dan rohanimu menjadi berseri. Dengan demikian, kebutuhanmu tentang kebendaan kau pasrahkan dan engkau bergantung kepada Allah SWT saja;

3. gerakanmu digerakan oleh kekuasaan-Nya, lidah keabadian memberi hiasan kepadamu berupa nur-Nya yang menempatkan kedududukanmu sejajar dengan ulama hikmah yang telah mendahuluimu.

Jika mampu seperti demikian, niscaya engkah berhasil menaklukan diri sendiri, sehingga dalam ragamu tidak ada “kedirianmu”, laksana bejana yang hancur, bersih dari air dan endapan.

Engkau akan terpisahkan dari segala gerak manusiawi karena rohanimu menolak segala sesuatu. Rohmu hanya menerima kehendak Allah saja. Pada peringkat dan kedudukan seperti ini, engkau akan mendapatkan suatu keajaiban. Hal ini seolah-olah hanya usahamu dalam melatih diri dan rohmu, padahal sebenarnya adalah kehendak Allah belaka.

Pada kedudukan ini, engkau mampu menjadi orang yang dapat menundukan hati sendiri, sifat hewanimu telah musnah. Dengan demikian, engkau akan mendapat ilham atas kehendak Ilahi dan dambaan-dambaan baru dalam kenyataan sehari-hari.

Allah Yang Mahatinggi tak akan bersamamu, jika kedirianmu (nafsu duniawi, hewani, sifat yang merusakan/membutakan hati) belum sirna. Jika kedirianmu telah sirna, lalu kau menganggap sesuatu di dunia ini tak ada artinya kecuali Allah, Dia akan memberikan kebugaran dan kesegaran rohani. Allah akan memberi kekuatan rohani dan dengan rohani tersebut, engkau berkehendak.

Jika di dalam dirimu masih juga terdapat noda meskipun sekecil biji dzarah, Allah akan menolakmu agar engkau terus berusaha untuk diterima Allah. Allah pun terus menciptakan kemauan baru dalam dirimu agar engkau tidak merasa puas dengan amal dan ibadah yang kau lakukan, hal ini sampai pada akhir hayatmu.

Dalam sebuah hadis Qudsi, Allah SWT berfirman,
“Hamba-Ku yang beriman senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku, yaitu dengan mengerjakan shalat-shalat sunnah yang diutamakan sehingga Aku mencintainya, maka Aku menjadi telinganya, dengannya ia mendengar, dan menjadi matanya, dengannya ia melihat, dan menjadi tangannya, dengannya ia bekerja, dan menjadi kakinya, dengannya ia berjalan. Tak diragukan lagi, demikianlah keadaan fana.”

Oleh sebab itu, Dia menyelamatkanmu dari kejahatan para mahluk-Nya, kemudian mendorongmu dalam kebaikan-Nya. Dengan begitu, engkau akan menjadi pusat kebaikan, sumber rahmat, kebahagian, kenikmatan, semangat, damai dan sentosa.

Para wali terdahulu pun menunaikan ibadah untuk mendekatkan dirinya sedekat mungkin kepada Allah SWT. Itulah yang menjadi tujuannya, tujuan terakhir. Mereka senantiasa beralih dari kehendak yang timbul dari pribadinya sendiri, mengubahnya menjadi kehendak dari Allah. Itulah sebabnya, mereka kemudian disebut “badal” (berubah).

Bagi mereka ini, menggabungkan kehendak dirinya sendiri dengan kehendak Allah adalah dosa.

Apabila mereka terbawa tipuan perasaan2nya sendiri sehingga lalai atau takut, Allah menolong mereka dengan kasih sayang – Nya. Allah akan mengingatkan mereka dan akhirnya mereka sadar dan berlindung kepada Tuhannya. Merekea berlindung dari kemauan pribadinya karena menyadari bahwa mereka tak akan mampu membersihkan dirinya sampai sebersih mungkin dari nafsu dan kemauan, kecuali malaikat. Para malaikat memang suci dari nafsu dan kehendak, para nabi terbebas dari kedirian, sedangkan jin dan manusia tak terlepaskan dari nafsu yang kelak menuntut pertanggungjawaban moral. Akan tetapi, meskipun manusia itu tak dapat terbebas dari nafsu, para wali mampu melemahkan nafsunya sehingga dengan, bantuan Allah, mereka mendapatkan rahmat yang menguatkan akalnya.

Tujuh
Terlepas dari Ketertarikan Dunia
Perbaiki dirimu dan tinggalkan olehmu kegelisahan dunia sesuai kemampuanmu. Nabi Muhammad saw bersabda,” Lepaskan dirimu dari bingungnya urusan dunia, sejauh kemampuanmu “

Kalau kau mengetahui apa yang kau cari, kalau dunia kau peroleh, engkau akan menjumpai kelelahan. Kalau kau menaruh perhatian yang berlebihan pada dunia niscaya kau akan merugi. Bebaskan diri dari urusan dunia, lepaskan perhiasan dunia, lucuti pakaian hawa nafsu. Karena kesungguhan diri beribadah pada Allah adalah sebuah hidayah.

Kalau ingin bahagia, engkau harus memiliki ketenangan lahir dan batin. Bersabarlah atas pemberian Allah, hindari prasangka buruk atasNya, karena Dia menyayangimu. “ Boleh jadi engkau membenci sesuatu, padahal itu amat baik bagimu, dan boleh jadi pula engkau menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu” (Al Baqarah 216)

Barangsiapa menginginkan jalan menuju keridhaan Allah , maka didiklah hawa nafsumu sebelum mendidik perbuatanmu. Bersungguh2lah sampai engkau mendapat ketenangan. Jangan turuti nafsu kecuali engkau telah melatih nafsumu dengan pelajaran dan perilaku baik. Dengan bersungguh2 mata akan terbuka dan kebodohan tak akan menghampiri kita. Hal ini membutuhkan pengikat dan waktu yang panjang, tidak dating begitu saja.

Pukullah nafsumu dengan cambuk lapar, cegahlah kehendaknya. Engkau harus bisa bertahan, karena nafsu hanya bisa berdusta dan tak pernah benar. Janjinya bohong dan Iblis adalah pentolannya. Dia tak punya kekuatan untuk memusuhi orang yang beriman.
Allah tidak memberi cobaan kepadamu kecuali disana ada hikmah dan faedah.

Kalau kau didera musibah, ingatlah dosa2mu. Mohonlah kesabaran padaNYA, perbanyak istigfar dan bertaubat lah segera. Bergaulah dengan para kekasih Allah, alim ulama dan teman yang bila kau melihatnya, mengingatkanmu akan Allah.

Wahai para pelanglang buana, Wahai para pelancong dunia, Peganglah erat-erat petunjukKu, Hingga sampai ditujuan, jangan kau keluar dari petunjuk, maka kau akan Kuberi petunjuk.

Bagaimana kau akan berperilaku baik, kalau tak berteman dengan Kawan yang berperilaku sopan santun
Bagaimana kau akan menimba ilmu, kalau kau tak senang dengan gurumu.

Syekh Abdul Qadir Jailani,
"Dudukkanlah dirimu bersama kehidupan duniawi, sedangkan kalbumu bersama kehidupan akhirat, dan rasamu bersama Rabbmu."

delapan
Lepas dari kemaksiatan
Wahai orang muda, janganlah engkau berputus asa daripada Rahmat Allah ‘Azza wa Jall kerana kemaksiatan yang telah engkau lakukan. Bersihkanlah kotoran dari pakaian agamamu dengan air taubat, dengan taubat yang istiqomah dan ikhlas. Kemudian, harumkanlah pakaian agamamu itu dengan (air wangi) ma‘rifah. Berhati-hatilah engkau dengan kedudukanmu sekarang kerana ke arah mana pun engkau toleh, terdapat hewan-hewan yang buas sedang berada di sekeliling dirimu, dan pengaruh-pengaruh jahat yang merusak pula sedang bertindak ke atas dirimu. Lepaskanlah dirimu daripadanya dan kembalikanlah hatimu kepada al-Haqq ‘Azza wa Jall.

Ada seorang insan yang telah berkata: “Aku ingin menjadi salah seorang daripada orang-orang yang mencari WajahNya. Hatiku telah terpandang Pintu Kedekatan (Bab al-Qurb) dan aku telah melihat para kekasih memasukinya dan kemudian telah keluar memakai pakaian-pakaian yang telah dianugerahkan oleh al-Malik (Raja, yakni Allah Ta‘la.) Apakah balasan untuk memasukinya?”

Kepadanya, aku telah menjawab: “Hendaklah engkau korbankan seluruh dirimu. Tinggalkan segala kehendak syahwat dan segala rasa kelazatan. Lenyapkan dirimu di dalamNya. Ucapkan selamat tinggal kepada segala taman syurga dan segala isi kandungannya, dan tinggalkanlah ia. Ucapkan selamat jalan kepada nafsu, hawa dan tabiat-tabiat. Ucapkan selamat jalan kepada segala keinginan, sama ada yang berbentuk keduniaan ataupun keakhiratan. Ucapkan selamat tinggal kepada setiap sesuatu dan engkau tinggalkannya di belakang hatimu. Setelah itu, masuklah. Engkau akan melihat apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, yang tidak pernah didengar oleh telinga, dan yang tidak pernah terlintas di hati manusia.”

Sufi ialah seorang manusia yang telah bersih batinnya dan juga zahirnya, dengan mengikuti kitab Allah ‘Azza wa Jall dan sunnah rasulNya. Dan jika kebersihannya sudah bertambah, dia akan keluar dari lautan kewujudannya, dan meninggalkan segala kehendak, ikhtiar dan keinginannya, kerana kebersihan hatinya.

Asas kebaikan ialah dengan menuruti an-NabÏ SallAllahu ‘alaihi wa sallam pada (seluruh) perkataannya dan perbuatannya.
Apabila hati si hamba (qalb al-‘abd) telah bersih, dia akan dapat melihat an-Nabi SallAllahu ‘alaihi wa sallam di dalam tidurnya, yang akan memberitahunya tentang apa yang harus dilakukan dan apa yang harus dijauhkan.

Seluruh dirinya akan menjadi sekeping hati, dan terpisah dengan niatnya. Dia akan menjadi sebuah rahsia tanpa penyataan, satu kebersihan tanpa kekeruhan. Kulit zahirnya akan tertanggal dari dirinya, sehingga yang tinggal adalah isi (lubb) tanpa kulit.

Dia akan bersama an-Nabiyullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam dari segi maknawi, yang akan melatih hatinya dan berada di hadapannya. Tangannya berada di dalam tangan baginda Sallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan an-Nabi Sallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjadi penasihat mengenaiNya, dan penjaga pintuNya.

Di dalam sebuah mimpi, seorang lelaki tua telah bertanya kepada diriku , “Apakah yang dapat membawa seorang hamba itu dekat dengan Allah ‘Azza wa Jalla?”

Maka aku telah menjawab, “Baginya satu permulaan dan satu kesudahan. Permulaannya ialah wara’ dan kesudahannya ialah penerimaan, penyerahan (at-taslim) dan persandaraan (at-tawakkul).”

Apabila seseorang itu bersikap benar dan ikhlas dengan Tuhan, dia tidak lagi mempedulikan setiap sesuatu selain daripadaNya, pada siang atau malam hari.

Wahai manusia, janganlah mengaku apa yang bukan milikmu. Esakanlah Allah dan janganlah mempersekutukanNya. Demi Allah (dengan melakukan yang demikian), apabila sampai panah takdir kepadamu, ia hanya akan mencalar dan tidak pula membunuhmu.

Siapa saja yang menginginkan kejayaan (al-falah), hendaklah dia menjadi sekeping tanah di bawah tapak kaki para masyaikh (para Mursyid).
Apakah ciri-ciri para masyaikh itu? Mereka adalah orang-orang yang telah menceraikan dunia dan segala makhluk, dan telah mengucapkan selamat tinggal kepada kedua-duanya (yakni dunia dan segala makhluk). Mereka juga telah mengucapkan selamat tinggal kepada setiap sesuatu, dari bawah al-‘arsy hinggalah ke dasar bumi . Mereka telah meninggalkan setiap sesuatu itu di belakang mereka, dan telah mengucapkan selamat tinggal sebagai seorang yang tidak akan kembali lagi. Mereka telah mengucapkan selamat tinggal kepada seluruh makhluk, termasuk diri mereka sendiri. Wujud mereka adalah bersama-sama Allah, pada setiap keadaan.

Siapa yang menuntut kecintaan Allah (namun masih) disertai dengan kewujudan nafsunya, maka dia sedang berkhayal dan berangan-angan.
Kebanyakan daripada mereka dari golongan al-mutazahhidin al-muta‘abbidin (orang-orang yang cuba menyerupai kaum Zuhud dan ahli ibadah), pada hakikatnya, adalah hamba-hamba para makhluk, yang telah mereka syirikkan (yakni menjadikannya sekutu bagi Allah).

Berdirilah engkau sekelian di hadapanNya di atas tapak-tapak kaki (aqdam) yang telah muflis daripada akal-akal fikiranmu dan ilmu-ilmumu, agar engkau sekalian dapat mengambil ilmu daripadaNya.

Janganlah merasa sangsi terhadapNya apabila Dia menunda Ijabah. Janganlah berputus asa dalam berdoa kepadaNya. Jika engkau tidak menerima apa-apa keuntungan, maka tidak pula engkau menanggung apa-apa kerugian. Jika Dia tidak memperkenankannya dengan serta-merta, maka Dia akan memberikan engkau gantinya di Hari Kemudian.

Selagi kecintaan kepada dunia kekal di hatimu, tiada akan melihat engkau sesuatu daripada ahwal as-Salihin. Selagi engkau meminta-minta dari makhluk dan mempersekutukan (Allah) dengan mereka, tiada akan terbuka mata hatimu. Tiadalah kata-kata itu sehingga engkau berzuhud dari dunia dan makhluk. Bersungguh-sungguhlah engkau. Engkau akan melihat apa yang tidak dilihat oleh orang lain, dan akan terlepas bagimu adat.

Jika engkau tinggalkan apa yang di dalam hitunganmu (hisab) akan datang kepadamu apa yang bukan di dalam hitunganmu. Apabila engkau bergantung penuh kepada al-Haqq ‘Azza wa Jall, dan bertaqwa di dalam khalwah dan di khalayak ramai, Dia akan mengaruniakanmu rezeki yang tidak disangka-sangka (la yahtasib). Engkau tinggalkan, Dia berikan. Engkau berzuhud, Dia temukan hajatmu.

Di peringkat permulaan, (ialah) meninggalkan. Di peringkat akhir, (ialah) pengambilan. Di awal urusan ini, ialah pemberatan kalbu dengan meninggalkan segala syahwat dan dunia, dan di akhirnya ialah pengambilannya. Yang pertama ialah bagi al-Muttaqin, dan yang kedua ialah bagi al-Abdal, yang telah sampai (al-wasilinn) kepada ketaatan (kepada) Allah ‘Azza wa Jall.

Kata-kata itu tidak sesuai untuk diucapkan sehingga segala tuhan-tuhanmu menjadi Tuhan yang satu, sehingga segala keinginanmu menjadi satu, dan sehingga segala tumpuan cintamu menjadi satu.

Hatimu hendaklah dijadikan satu. Bilakah kedekatan kepada al-Haqq dapat mendirikan kemahnya di dalam hatimu? Kapan hatimu akan menjadi majdhub (tertarik) dan sirr-mu menjadi muqarrab (didekatkan)? Dan kapankah segera engkau dapat menemui Tuhanmu, setelah engkau mengucapkan selamat tinggal kepada segala makhluk?

"Di dalam sebuah Mimpi seorang lelaki tua telah bertanya kepadaku. . ..
Wahai WaliulLah apakah yg dapat membawa seorang hamba itu dekat dengan
Allah SWT . . . . ?!
lalu aku telah menjawab kepadamu wahai Mubarok !
baginya ada 2 perkara yaitu . . .

1.PERMULAAN
yaitu jadi lah kamu org yg Wara’
(senantiasa menjauhkan diri dr segala macam Dosa)

2.KESUDAHAN
jadilah Org Yg Qona’ah !
Mendengar jawaban yg singkat dan padat tersebut . . .
Lelaki tua itupun Pergi dgn hati yg damai !
dan nampak Bersinar wajah yg sudah dimakan usia tersebut "

Mudah2 kisah diatas dapat menjadikan kita yang di Tarekat Qodiriyah ini di berikan kekuatan Islam,Iman Dan Ikhsan dan di Anugerahkan oleh
Al-Haqq Allah azza wa jalla . Amin.