Jumat, 25 Juni 2010

syeh Syamsudin Asumatrani

Sufi Legendaris dari Nangroe Aceh
Sejak lama Aceh telah dikenal sebagai satu-satunya daerah yang aksentuasi keislamannya paling menonjol. Selain menonjolnya warna keislaman dalam kehidupan sosio-kultur di sana, ternyata di Serambi Mekah ini pernah tersimpan pula sejumlah Sufi ternama semisal Samsuddin Sumatrani.

Syamsuddin Sumatrani adalah salah satu tokoh sufi terkemuka yang telah turut mengguratkan corak esoteris pada wajah Islam di Aceh. Sayangnya perjalanan hidup sang sufi ini sulit sekali untuk dirangkai secara utuh. Hal ini selain karena tidak ditemukannya catatan otobiografisnya, juga karena langkanya sumber-sumber akurat yang dapat dirujuk.

Bahkan tidak kurang peneliti seperti Prof. Dr. Azis Dahlan yang pernah mengadakan penelitian untuk disertasinya, merasa kesulitan dengan langkanya sumber-sumber mengenai tokoh sufi yang satu ini. Diantara sumber tua yang dapat dijumpai mengenai potret Syamsuddin Sumatrani adalah Hikayat Aceh, Adat Aceh, dan kitab Bustanu al-Salathin. Itupun tidak memotret perjalanan hidupnya secara terinci. Meski demikian, dari serpihan-serpihan data historis yang terbatas itu kiranya cukuplah bagi kita untuk sekedar memperoleh gambaran akan kiprahnya berikut spektrum pemikirannya.

Mengenai asal-usulnya, tidak diketahui secara pasti kapan dan di mana ia lahir. Perihal sebutan Sumatrani yang selalu diiringkan di belakang namanya, itu merupakan penisbahan dirinya kepada “negeri Sumatra” alias Samudra Pasai. Sebab memang di kepulauan Sumatra ini tempo doeloe pernah berdiri sebuah kerajaan yang cukup ternama, yakni Samudra Pasai. Itulah sebabnya ia juga adakalanya disebut Syamsuddin Pasai.

Menurut para sejarawan, penisbahan namanya dengan sebutan Sumatrani ataupun Pasai mengisyaratkan adanya dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, orang tuanya adalah orang Pasai (Sumatra). Dengan demikian maka bisa diduga bahwa ia sendiri dilahirkan dan dibesarkan di Pasai. Jika pun ia tidak lahir di Pasai, maka kemungkinan kedua bahwa sang ulama terkemuka pada zamannya ini telah lama bermukim di Pasai bahkan ia meninggal dan dikuburkan di sana.

Berbicara tentang peranan Sumatra sebagai pusat pengajaran dan pengembangan Islam, Negeri Pasai itu memang lebih dahulu terkemuka daripada Banda Aceh. Paling tidak Samudera Pasai lebih dulu terkemuka pada kisaran abad ke-14 dan 15 M, yakni sebelum akhirnya Pasai dikuasai oleh Portugis pada tahun 1514. Sementara beralihnya tampuk kekuasaan Negeri Pasai kepada Kerajaan Aceh Darussalam baru berlangsung pada tahun 1524.

Peranan dan Pengaruhnya
Pada masa pemerintahan Sayyid Mukammil (1589-1604), Syamsuddin Sumatrani sudah menjadi orang kepercayaan sultan Aceh. Sayang dalam kitab Bustan al-Salathin sendiri tidak disingkapkan bagaimana perjalanan Syamsuddin Sumatrani sehingga ia menjadi ulama yang paling dipercaya dalam lingkungan istana kerajaan Aceh selama tiga atau empat dasawarsa.
Syamsuddin Sumatrani wafat pada tahun 1039 H/1630 M, dan selama beberapa dasawarsa terakhir dari masa hidupnya ia merupakan tokoh agama terkemuka yang dihormati dan disegani. Ia berada dalam lindungan dan bahkan berhubungan erat dengan penguasa Kerajaan Aceh Darussalam.
Syamsuddin Sumatrani adalah satu dari empat ulama yang paling terkemuka. Ia berpengaruh serta berperan besar dalam sejarah pembentukan dan pengembangan intelektualitas keislaman di Aceh pada kisaran abad ke-l7 dan beberapa dasawarsa sebelumnya. Keempat ulama tersebut adalah Hamzah Fansuri (?-?), Syamsuddin Sumatrani (?-1630), Nuruddin Raniri (?-1658), dan Abdur Rauf Singkel (1615/20-1693). Mengenai ada tidaknya hubungan antara Syamsuddin Sumatrani dengan ketiga ulama lainnya, ada baiknya disinggung seperlunya.

Mengenai hubungan Hamzah Fansuri dengan Syamsuddin Sumatrani, sejarawan A. Hasjmy cenderung memandang Syamsuddin Sumatrani sebagai murid dari Hamzah Fansuri. Pandangannya ini diperkuat dengan ditemukannya dua karya tulis Syamsuddin Sumatrani yang merupakan ulasan (syarah) terhadap pengajaran Hamzah Fansuri. Kedua karya tulis Syamsuddin Sumatrani itu adalah Syarah Ruba'i Hamzah Fansuri dan Syarah Syair Ikan Tongkol.

Adapun hubungannya dengan Nuruddin ar-Raniri, hal ini tidak diketahui secara pasti. Yang jelas adalah bahwa tujuh tahun setelah Syamsuddin Sumatrani wafat, Raniri memperoleh kedudukan seperti sebelumnya diperoleh Syamsuddin Sumatrani. Ia diangkat menjadi mufti Kerajaan Aceh Darussalam pada tahun 1637 oleh Sultan Iskandar Tsani. Karena fatwanya yang men-zindiq-kan (mengkafirkan) paham wahdatul wujud Syamsuddin Sumatrani, maka para pengikut Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani dihukum oleh pihak penguasa dengan hukuman bunuh. Bahkan literatur-literatur yang mereka miliki dibakar habis. Namun demikian, para pengikut paham Sumatrani itu ternyata tidak punah semuanya.

Pada kisaran tahun 1644 Raniri disingkirkan dari kedudukannya selaku mufti kerajaan Aceh Darussalam. Ia pun terpaksa pulang ke Ranir, Gujarat. Sebagai penggantinya, Sultanah Tajul Alam Safiatuddin (1641-1675) kemudian mempercayakan jabatan mufti kerajaan kepada Saifur Rijal. Saifur Rijal adalah seorang Minang yang juga penganut paham wahdatul wujud. Pada waktu itu ia baru pulang kembali ke Aceh dari pendalaman kajian agama di India. Dengan demikian, paham tasawuf Syamsuddin Sumatrani itu kembali mewarnai corak keislaman di Kerajaan Aceh Darussalam.

Karya-karyanya
Dari hasil penelitian Prof. Dr. Azis Dahlan diketahui adanya sejumlah karya tulis yang dinyatakan sebagai bagian, atau berasal dari karangan-karangan Syamsuddin Sumatrani, atau disebutkan bahwa Syamsuddin Sumatrani yang mengatakan pengajaran itu. Karya-karya tulis itu sebagian berbahasa Arab, sebagian lagi berbahasa Melayu (Jawi). Diantara karya tulisnya yang dapat dijumpai adalah sebagai berikut:


Jawhar al-Haqa'iq (30 halaman; berbahasa Arab), merupakan karyanya yang paling lengkap yang telah disunting oleb Van Nieuwenhuijze. Kitab ini menyajikan pengajaran tentang martabat tujuh dan jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.

Risalah Tubayyin Mulahazhat al-Muwahhidin wa al-Mulhidin fi Dzikr Allah (8 balaman; berbahasa Arab). Karya yang telah disunting oleb Van Nieuwenhuijze ini, kendati relatif singkat, cukup penting karena mengandung penjelasan tentang perbedaan pandangan antara kaum yang mulhid dengan yang bukan mulhid.

Mir’at al-Mu'minin (70 halaman; berbahasa Melayu). Karyanya ini menjelaskan ajaran tentang keimanan kepada Allah, para rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, para malaikat-Nya, hari akhirat, dan kadar-Nya. Jadi pengajarannya dalam karya ini membicarakan butir-butir akidah, sejalan dengan paham Ahlus Sunnah wal Jama'ah (tepatnya Asy'ariah-Sanusiah).

Syarah Ruba'i Hamzah Fansuri (24 halaman; berbahasa Melayu). Karya ini merupakan ulasan terhadap 39 bait (156 baris) syair Hamzah Fansuri. Isinya antara lain menjelaskan pengertian kesatuan wujud (wahdat al-wujud).

Syarah Sya'ir Ikan Tongkol (20 balaman; berbahasa Melayu). Karya ini merupakan ulasan (syarh) terbadap 48 baris sya'ir Hamzah Fansuri yang mengupas soal Nur Muhammad dan cara untuk mencapai fana' di dalam Allah.

Nur al-Daqa'iq (9 halaman berbahasa Arab; 19 halaman berbahasa Me1ayu). Karya tulis yang sudah ditranskripsi oleh AH. Johns ini (1953) mengandung pembicaraan tentang rahasia ilmu makrifah (martabat tujuh).

Thariq al-Salikin (18 halaman; berbahasa Melayu). Karya ini mengandung penjelasan tentang sejumlah istilah, seperti wujud, 'adam, haqq, bathil, wajib, mumkin, mumtani’ dan sebagainya.

Mir’at al-Iman atau Kitab Bahr al-Nur (12 halaman; berbahasa Melayu). Karya ini berbicara tentang ma’rifah, martabat tujuh dan tentang ruh.

Kitab al-Harakah (4 halaman; ada yang berbahasa Arab dan ada pula yang berbahasa Melayu). Karya ini berbicara tentang ma’rifah atau martabat tujuh.

Ajaran Tasawufnya
Syamsuddin Sumatrani dikenal sebagai seorang sufi yang mengajarkan faham wahdatul wujud (keesaan wujud) dengan mengikuti faham wahdatul wujud Ibnu Arabi. Istilah wahdatul wujud itu sendiri sebenarnya bukan diberikan oleh Ibnu Arabi sendiri. Artinya, Ibnu Arabi tidak pernah menyatakan bahwa sistem pemikiran tasawufnya itu merupakan paham wahdatul wujud.

Dari hasil penelitian WC. Chittick, Sadr al-Din al-Qunawi (w. 673/1274) adalah orang pertama yang menggunakan istilah wahdatul wujud, hanya saja al-Qunawi tidak menggunakannya sebagai suatu istilah teknis yang independen. Selain al-Qunawi, masih banyak lagi yang menggunakan istilah wahdatul wujud. Namun tokoh yang paling besar peranannya dalam mempopulerkan istilah wahdatul wujud adalah Taqi al-Din Ibn Taymiyyah (w. 728/1328). Ia adalah pengecam keras ajaran Ibnu Arabi dan para pengikutnya.

Di antara kaum sufi yang mengikuti jejak pemikiran Ibnu Arabi tersebut adalah Syamsuddin Sumatrani. Pengajaran Syamsuddin Sumatrani tentang Tuhan dengan corak paham wahdatul wujud dapat dikenal dari pembicaraannya tentang maksud kalimat tauhid la ilaha illallah, yang secara harfiah berarti tiada Tuhan selain Allah. Ia menjelaskan bahwa kalimat tauhid tersebut bagi salik (penempuh jalan tasawuf) tingkat pemula (al-mubtadi) dipahami dengan pengertian bahwa tiada ada ma’bud (yang disembah) kecuali Allah.

Sementara bagi salik yang sudah berada pada tingkat menengah (al-mutawassith), kalimat tauhid tersebut dipahami dengan pengertian bahwa tidak ada maksud (yang dikehendaki) kecuali Allah. Adapun bagi salik yang sudah berada pada tingkat penghabisan (al-muntaha), kalimat tauhid tersebut difahami dengan pengertian bahwa tidak ada wujud kecuali Allah.
Namun ia mengingatkan bahwa terdapat perbedaan prinsipil antara pemahaman wahdatul wujud dari para penganut tauhid yang benar (al-muwahhidin al-shiddiqin), dengan paham wahdatul wujud dari kaum zindiq penganut panteisme. Di lihat dari satu sisi, kedua pihak itu memang nampak sependapat dalam menetapkan makna kalimat tauhid la ilaha illallah, yakni tiada wujud selain Allah, sedang wujud segenap alam adalah bersifat bayang-bayang atau majazi. Tetapi sebenarnya kedua belah pihak memiliki perbedaan pemahaman yang sangat prinsipil. Bagi kaum panteisme yang zindiq alias sesat, mereka memahaminya bahwa wujud Tuhan itu tidak ada, kecuali dalam kandungan wujud alam. Jadi bagi kalangan panteis ini, segenap wujud alam adalah wujud Tuhan dan wujud Tuhan adalah wujud alam (baik dari segi wujud maupun dari segi penampakannya).

Jadi para penganut paham panteisme itu mengidentikkan Tuhan dengan alam. Mereka menetapkan adanya kesatuan hakikat dalam kejamakan alam tanpa membedakan antara martabat Tuhan dengan martabat alam. Paham demikian menurut Syamsuddin Sumatrani adalah paham yang batil dan ditolak oleh para penganut tauhid yang benar.

Bagi Syamsuddin Sumatrani, sebagaimana faham Ibnu Arabi, asdalah Keesaan Wujud berarti tidak ada sesuatu pun yang memiliki wujud hakiki kecuali Tuhan. Sementara alam atau segala sesuatu selain Tuhan keberadaannya adalah karena diwujudkan (maujud) oleh Tuhan. Karena itu dilihat dari segi keberadaannya dengan dirinya sendiri, alam itu tidak ada (ma’dum); tetapi jika dilihat dari segi “keberadaannya karena wujud Tuhan” maka jelaslah bahwa alam itu ada (maujud).

Dengan demikian martabat Tuhan sangat berbeda dengan martabat alam. Hal ini diuraikan dalam ajarannya mengenai martabat tujuh, yakni satu wujud dengan tujuh martabatnya. Tulisnya:

I’lam, ketahui olehmu bahwa (se)sungguhnya martabat wujud Allah itu tujuh martabat; pertama martabat ahadiyyah, kedua martabat wahdah, ketiga martabat wahidiyyah, keempat martabat alam arwah, kelima martabat alam mitsal, keenam martabt alam ajsam dan ketujuh martabat alam insan.

Maka ahadiyyah bernama hakikat Allah Ta’ala, martabat Dzat Allah Ta’ala dan wahdah itu bernama hakikat Muhammad, ia itu bernama sifat Allah, dan wahidiyyah bernama (hakikat) insan dan Adam ‘alaihi al-Salam dan kita sekalian, ia itu bernama asma Allah Ta’ala, maka alam arwah martabat (hakikat) segala nyawa, maka alam mitsal martabat (hakikat) segala rupa, maka alam ajsam itu martabat (hakikat) segala tubuh, maka alam insan itu martabat (hakikat) segala manusia. Adapun martabat ahadiyyah, wahdah dan wahidiyyah itu anniyyat Allah Ta’ala, maka alam arwah, alam mitsal alam ajsam dan alam insan itu martabat anniyyat al-makhluk.

Atas uraian Syamsuddin Sumatrani tersebut Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan memberikan ulasan: terhadap tiga martabat pertama yang disebutnya dengan ‘anniyyat Allah, maksudnya adalah martabat wujud aktual Tuhan; Sedang terhadap empat martabat berikutnya yang disebut martabat anniyyat al-makhluk, maka yang dimaksudkannya adalah wujud aktual makhluk.

Dengan demikian, tiga martabat pertama adalah qadim (dahulu tanpa permulaan) dan baqa (kekal tanpa kesudahan); Sedang empat martabat berikutnya disebut muhdats (yang dijadikan/diciptakan). Karena itu pula istilah ‘alam tidak digunakan untuk tiga martabat pertama, tapi jelas dipergunakan untuk empat martabat berikutnya. Dari semua itu dapatlah dipahami bahwa martabat ketuhanan itu tidak lain dari tiga martabat pertama, sedang martabat alam atau makhluk mengacu pada empat martabat berikutnya. Wallahu A’lam.

sufinews.com

masihkah anda menuntut Allah

Syeikh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandary
“Sepanjang anda menuntut balasan atas amal anda, maka anda pun dituntut agar benar dalam amaliyah itu sendiri. Maka cukuplah bagi orang yang masih ragu atas

balasan Allah, bahwa ia dapatkan keselamatan dari siksa.”

Apabila Allah swt, hendak menampakkan anugerah keutamaanNya padamu, maka Allah menciptakan amal bagimu, dan mengaitkan amal itu kepadamu.

Yakni, Allah menciptkana kemampuan untukmu untuk beramal dan beribadah dan memberikan pertolongan agar dirimu menuju kepadaNya, bahkan mengembalikan amaliyah itu kepadamu. Allah swt, menciptakan ta’at, dan mengaitkan taat itu kepada kita, memberi pahala kepada kita, padahal seseungguhnya itu tidak layak bagi kita.

Anugerah luar biasa, bagaimana sampai Allah swt, memberikan anugerah itu, seakan-akan itu amal baik dan taat kita, padahal itu semua ciptaan Allah Ta’ala pada kita, bukan ciptaan kita, bukan kreasi dan ikhtiar kita.

Disinilah Ibnu Athaillah as-Sakandary mengingatkan:
“Tak habis-habisnya engkau mencaci dirimu, manakala semua itu dikembalikan padamu. Dan tidak habis-habisnya pujianmu manakala Allah swt, itu menampakkan kemurahanNya kepadamu.”

Sebab, diri kita, ditinjau dari eksistensi kita yang asli, tak lebih dari wujud kekurangan, wujud keragu-raguan, wujud kehinaan dan wujud kefakiran. Sedangkan jika dipandang dari segi anugerahNya keada kita, maka segalanya adalah wujud kebajikan dan keutamaan.

Begitu pula kelak di akhirat, manakala yang muncul adalah diri kita, maka kita berada dalam timbangan KeadilanNya, lalu menjadi wajar kalau KeadilanNya yang tampak, justru kita semua masuk neraka, apa pun amal dan ibadah yang kita lakukan. Karena dosa itu, sebesar apa pun sesungguhnya bukan menjadi penyebab seseorang masuk neraka. Manusia masuk neraka karena keadilanNya. Dan jika KeadilanNya yang tampil, maka seluruh kebaikan kita tak berartri, karena sesungguhnya buila ditimbang dengan KeadilanNya, amal perbuatan kita, ternyata bukan dari diri kita, bukan produksi dan ciptaan kita, namun ciptaan Allah swt, kehendakNya dan KuasaNya.

Sebaliknya bila yang dimunculkan adalah Anugerah dan RahmatNya, maka seluruh amal kita yang tampak adalah enugerah Ilahi semua, dan disanalah tiket ke syurga, karena anugerah dan rahmatNya pastilah menyertai perjalanan kita menuju Allah swt. Segala apa pun yang disadari karena bersamaNya, anugerah dan rahmatNya, akan menjadi mudah. Dan sebaliknya apa pun mudahnya kalau kita hanya bersama diri kita, mengandalkan diri dan amal perbuatan kita, pastilah gagal dan mengamali kesulitan luar biasa.

sufinews.com

PINTU SORGA

Jaman dahulu adalah seorang lelaki yang baik hatinya. Ia
telah menjalani hidupnya dengan melakukan segala hal yang
memungkinkan orang masuk sorga. Ia memberi harta kepada si
miskin, ia mencintai sesamanya, dan ia mengabdi kepada
mereka. Karena mengingat pentingnya kesabaran, ia senantiasa
bertahan terhadap kesulitan yang besar dan tak diduga-duga,
sering itu semua demi kebahagiaan orang lain. Iapun
mengadakan perjalanan jauh-jauh untuk mendapatkan
pengetahuan. Kerendahhatian dan perilakunya yang pantas
ditiru begitu dikenal sehingga ia dipuji-puji sebagai
seorang yang bijaksana dan warga yang baik; pujian itu
terdengar mulai dari Timur sampai ke Barat, Utara sampai ke
Selatan.

Segala kebaikan itu memang dijalankan --selama ia ingat
melakukannya. Namun ia memiliki kekurangan, yakni kurang
perhatian. Kecenderungan itu memang tidak berat, dan
ditimbang dengan kebaikannya yang lain, hal itu merupakan
cacat kecil saja. Ada beberapa orang miskin yang tak
tertolongnya, sebab selalu saja ia kurang memperhatikan
kebutuhan mereka itu. Kasih sayang dan pengabdian pun
kadang-kadang terlupakan apabila yang dipikirkannya sebagai
kebutuhan pribadi muncul dalam dirinya.

Ia suka sekali tidur. Dan kadang-kadang kalau ia sedang
tidur, kesempatan mendapatkan pengetahuan, atau memahaminya,
atau melaksanakan kerendahhatian, atau menambah jumlah
tindakannya yang terpuji kesempatan semacam itu lenyap
begitu saja, tak akan kembali lagi.

Wataknya yang baik meninggalkan bekas pada dirinya; begitu
juga halnya dengan wataknya yang buruk, yakni kurangnya
perhatian itu.

Dan kemudian ia meninggal. Menyadari dirinya berada di balik
kehidupan ini, dan sedang berjalan menuju pintu-pintu Taman
Berpagar, orang itu istirahat sejenak. Ia mendengarkan
kata-hatinya. Dan ia merasa bahwa kesempatannya memasuki
Gerbang Agung itu cukup besar.

Disaksikannya gerbang itu tertutup; dan kemudian terdengar
suara berkata kepadanya, "Siagalah selalu; sebab gerbang
hanya terbuka sekali dalam seratus tahun." Ia pun duduk
menunggu, gembira membayangkan apa yang akan terjadi. Namun,
jauh dari kemungkinan untuk menunjukkan kebaikan terhadap
manusia, ternyata ia menyadari bahwa kemampuannya untuk
memperhatikan tidak cukup pada dirinya. Setelah siaga terus
selama waktu yang rasanya sudah seabad kepalanya
terkantuk-kantuk. Segera saja pelupuk matanya tertutup. Dan
pada saat yang sekejap itu, gerbangpun terbuka. Sebelum mata
si lelaki itu terbuka sepenuhnya kembali, gerbang itupun
tertutup: dengan suara menggelegar yang cukup dahsyat untuk
membangunkan orang-orang mati.

Catatan

Kisah ini merupakan bahan pelajaran darwis yang disenangi;
kadang-kadang disebut "Parabel Tentang Kurangnya Perhatian,"
Meskipun terkenal sebagai kisah rakyat, asal-usulnya tak
diketahui. Beberapa orang menganggapnya ciptaan Hadrat Ali,
Kalifah Keempat. Yang lain mengatakan bahwa kisah itu begitu
penting, sehingga tentunya diucapkan sendiri oleh Nabi,
secara rahasia. Jelas kisah ini tidak terdapat dalam Hadits
Nabi.

Bentuk sastra yang kita pilih ini berasal dari seorang
darwis tak dikenal dari abad ketujuh belas, Amil Baba, yang
naskah-naskahnya menekankan bahwa "pengarang sejati adalah
orang yang karyanya tak bernama (anonim), sebab dengan cara
itu tak ada yang berdiri antara pelajar dan yang
dipelajarinya."

Rabu, 23 Juni 2010

Asal dan Kedudukan Ilmu Tasauf

Ketahuilah bahawa Ilmu Aqli adalah tunggal dengan zatnya [bersendirian iaitu diasaskan atas akal semata-mata], daripadanya lahir ilmu yang tersusun yang di dalamnya terdapat seluruh hal-ehwal dua ilmu yang tunggal. Ilmu yang tersusun itu ialah ilmu ahli-ahli Tasauf dan jalan ehwal mereka. Mereka mempunyai ilmu yang khas dengan jalan yang terang yang terhimpun dari dua ilmu.

Ilmu mereka terdiri dari

Hal,
Waktu,
Samaa',
Wujdan,
Sheikh,
Sakr,
Sohwu,
Isbat,
Mahwu,
Fakir,
Fana,
Wilayah,
Irodah,
Murid
dan apa yang berhubung dengan Hal Ehwal mereka serta tambah-tambahannya, sifat-sifat dan makam-makam.


--------------------------------------------------------------------------------


Penerangan petikan di atas oleh penterjemah iaitu Abdullah bin Muhammad (Naqula)

dari dua ilmu

Louis Gardent dan G.Anawati dalam buku mereka "Falsafah Al-Fikr Al-Din" menganggap ayat ini sebagai mengandungi teka-teki yang sukar untuk deselesaikan. Mereka bertanya: Apakah gerangan maksud "dua ilmu" yang disebut oleh Imam Ghazali? Ia menyebut Ilmu Aqli tetapi tiada menyebut yang satu lagi. Meskipun demikian, berat kemungkinan bahawa ia maksudkan Ilmu Syari'i di mana Ilmu Tasauf merupakan satu cantuman di antara dua ilmu itu. Nampaknya bukan begini, asas pembahagian 'duaan' "Akal-Syarak" adalah menurut kadar "dunia-akhirat".

Kita dapati di antara Ilmu-ilmu Aqliah ada pula ilmu-ilmu yang tujuannya ialah akhirat, seperti makrifat Qalbu-Qalbu dan makrifat Allah, sebagaimana ilmu-ilmu Syaria'ah ada pula Ilmu Fekah yang mengambil berat dalam urusan-urusan dunia (Falsafah Al-Fikr Al-Din penggal 1, muka 212).

Berhubung dengan ilmu yang tersusun ini, meskipun Imam Ghazali tidak menerangkan dengan jelas, kita dapat mengenainya dalam kitabnya "Al-Ahyaa' ketika menerangkan tentang "hakikat fikiran dan buahnya". Menurut keterangannya bahawa fikiran (Al-Fikr/Takakur) adalah bererti mendatangkan dua makrifat dalam Qalbu untuk untuk menghasilkan makrifat yang ketiga. Dengan ini bermakna bahawa Ilmu Aqli yang berasaskan akal semata-mata itu mengandungi dua ilmu yang tersusun yang melahirkan ilmu yang ketiga.

Bila ilmu yang ketiga ini telah didapati dengan erti telah terterap pada Qalbu,

suatu perubahan pada 'hal Qalbu' terjadi yang menyebabkan
berubahnya pula tindakan-tindakan anggota.
Jadinya dengan "fikiran" menerusi sistem duaan itu menelurkan "ILMU".
Ilmu ini menelurkan pula "HAL"
dan hal menelurkan "Tindakan" (Al 'Amal atau Al-Fi'li) [lihat Al-Ahyaa' penggal 4 muka 412-413].
Meskipun Ilmu 'Aqli itu sendiri mengandungi dua ilmu yang tersusun dalam dirinya, ia adalah tetap tunggal dipandang dari segi Akal; iaitu hasil daripada akal semata-mata.

Di atas Imam Ghazali berkata bahawa daripada Ilmu 'Aqli lahir ilmu yang tersusun iaitu ilmu ahli-ahli Tasauf. Bagaimanakah cara lahirnya ilmu yang tersusun dari Ilmu 'Aqli itu ??

Caranya begini; andaikata menerusi akal seseorang mendapat ilmu yang tiada ragu-ragu lagi bahawa "sampai kepada Allah" adalah modal yang paling penting untuk hidup di dunia dan di akhirat. Ini adalah Ilmu 'Aqli. Bila ilmu ini terterap pada Qalbu, ia mengubahkan "hal Qalbu" yang menyebabkan ia melakukan "Tindakan" mencari "Ilmu Tentang Cara-cara Beramal" atau "Ilmu Ibadat" sebagai jalan untuk sampai kepada Allah itu dan ahirnya ia mendapatinya. Sekarang nampaklah fungsi Ilmu 'Aqli itu.

Kita bicarakan pula tentang hasil daripadanya "Ilmu Tentang Cara-cara Beramal" itu merupakan satu ilmu yang tunggal. Ia tidak menghasikan apa-apa kalau tidak diamalkan. Bila ia diamalkan, datanglah "WARID-WARID" iaitu makna-makna(Maani) yang datang dari Alam Malakut ke atas Qalbu. Bila satu warid terterap pada Qalbu, ia mengubahkan "Hal Qalbu". Perubahan-perubahan pada hal Qalbu oleh Warid-warid ini melahirkan beberapa sifat Qalbu seseorang. Sifat-sifat ini jika sebentar sahaja dinamakan "HAL" dan kiranya ia menetap dinamakan "MAQAM".

Yang dinamakan hal itu ialah seperti

Al-Qabd dan Al-Basith,
Al-Jami' dan Al-Farq,
Al-Fana dan Al-Baqa,
Al-Shohu dan Al-Syakr,
Al-Mahw dan al-Isbat,
Al-Tamkin dan lain-lain lagi.
Yang dinamakan Maqam pula adalah seperti

Wara',
Zahid,
Fakir,
Sabar,
Syukur,
Redha,
Khauf,
Roja',
Tawakkal dan lain-lainnya.
Meskipun demikian, kadang-kadang "Hal" dianggap sebagai "Maqam" dan Maqam dianggap sebagai Hal bergantung kepada tempoh ia berada pada Qalbu [Lihat Al-Ahyaa' penggal 4 muka 139]' ['Awaariful Ma'aaruf muka 469-473] dan [Iqadzul Himam muka 24].

Perubahan-perubahan pada "Hal Qalbu" tersebut melahirkan semacam "Tindakan" pada aggota-anggota dan lidah seseorang.

Kalau Warid yang datang atas Qalbu itu bersifat Qabd(Kecut)' lahir ke atas anggota seseorang iaitu diam.
Kalau Warid yang datang itu bersifat Basith(Lega), lahirlah ke ats anggota iaitu gerak cergas.
Kalau Warid yang datang bersifat Zahid dan Wara', lahirlah ke atas anggota-anggota iaitu menjauh dan mengundur diri dari kesenangan duniawi.
Kalau Warid yang datang ke atas Qalbu itu bersifat Mahabbah(Cinta) dan Syauki(Rindu), lahirlah kesan pada lidah iaitu kata-kata yang tiada tertahan yang ganjil dipandang dari segi syara'[Lihat Iqadzul Himam muka 24].
Warid-warid yang datang atas Qalbu itu adalah luas ertinya; bukan sahaja berupa "makna-makna" yang menimbulkan "HAL-HAL" dan "MAQAM-MAQAM" seperti yang telah diterangkan, juga ia merupakan "LINTASAN-LINTASAN{KHOWATIR}" iaitu "Perkataan-perkataan yang dihadapkan kepada Qalbu". Lintasan-lintasan ini adalah lintasan-lintasan yang terpuji(Khowatir Mahmudah) yang datangnya dari Malaikat dan Allah yang dinamakan "ILHAM". Juga warid itu itu merupakan "Hakikat-hakikat dan Ilmu-ilmu yang datang dari sisi Allah" yang biasa dimasukkan dalam golongan Kasyaf dan Ilham.

Himpunan dari sifat-sifat Qalbu dinamakan "Hal-hal" dan "Maqam-maqam" dan ilmu-ilmu yang timbul dari ilham dan kashaf itu semuanya menjadi suatu Ilmu Yang Tunggal iaitu Ilmu hasil dari amalan. Paduan "Ilmu Tentang Cara-cara Beramal" dan "Ilmu Hasil Daripada Amalan" itulah dinamakan "ILMU TASAUF" sebagai ilmu yang ketiga atau sintesis; tetapi kali dilihat semula ke belakang, kepada asalnya, ia bersumber dari Ilmu 'Aqli juga.

Inilah nampaknya maksud kata-kata Imam Ghazali tadi;

"Ketahuilah bahawa Ilmu Aqli adalah tunggal dengan zatnya [bersendirian iaitu diasaskan atas akal semata-mata], daripadanya lahir ilmu yang tersusun yang dalamnya terdapat seluruh Hal Ehwal dua ilmu yang tunggal. Ilmu yang tersusun itu ialah ilmu ahli-ahli Tasauf dan jalan ehwal mereka. Mereka mempunyai ilmu yang khas dengan jalan yang terang yang terhimpun dari dua ilmu".

Dalam keterangan seterusnya Imam Ghazali mengemukakan kandungan atau bahagian-bahagian yang membentuk ilmu Tasauf itu dengan menyebut beberapa contoh yang lebih banyak mengandungi hal-hal(Ahwal) kalau dibandingkan dengan Maqam-maqam(Maqaamat).

Hal makna-makna yang Warid atas Qalbu tanpa sengaja.
Waktu [Waktu] Waktu hal itu terjadi atas seseorang tanpa hubungan dengan waktu-waktu yang lepas dan akan datang.
Samaa' [Taat] Penumpuan Qalbu kepada apa yang terpuji mengikur Syara'
Wujdan Hal yang menghaibkan yang ditemui oleh Qalbu kerana syuhudnya
Syauq [Rindu] Kerinduan-kerinduan untuk berlakunya pertemuan-pertemuan dengan Allah
Sakr [Mabuk] Kehilangan kesedaran diri kerana datangnya Warid yang kuat
Shohr [Sihat] Sedar kembali selepas kehilangan kesedaran diri kerana datang Warid yang kuat itu
Isbaat Melepaskan hukum-hukum ibadat
Mahwu [Hapus] Membuang sifat-sifat(jiwa) yang teradat, ada orang mengatakan kehilangan 'Ilat(sebab) dan ada yang mengatakan apa yang dilindungi dan dinafikan
Fakir Keadaan tiada memandang sesuatu yang lain daripada Allah, tidak memerlukan apa-apa selain daripada Allah dan tidak senang hati kerana pengaruh sesuatu selain dari hudur bersama Allah
Fana Penglihatan seorang hamba kepada 'Ilat (Sebab) dengan mendirikan Allah pada 'Ilat itu
Wilayah Berdiri hamba dengan Allah ketika fana dari dirinya, hal ini terjadi dengan toleh Allah Taala kepadanya hingga ia sampai kepada matlamat Maqam Qarb(Kehampiran) dan Tamkin(Sampai kepada Allah)
Iradat [Kemahuan] Cinta yang menyala dalam Qalbu yang mendorongi untuk beramal
Sheikh Manusia yang sempurna dalam ilmu-ilmu syariat, thorikat dan hakikat
Murid Seorang yang menyingkirkan kemahuannya. Menurut Imam Ghazali; murid ialah yang berada pada tingakat ASma(Nama-nama Allah) dan masuk ke dalam golongan orang yang menyerahkan segala-galanya kepada Allah dengan Isim



--------------------------------------------------------------------------------


Sambungan Kitab Al-Risaalatulil-Duniyyah oleh Imam Ghazali

Kami akan bincangkan tentang ilmu yang tiga ini dalam buku yang khas InsyaAllah Taala. Tujuan kami sekarang hanya membilang-bilang nama ilmu-ilmu dan jenis-jenisnya sahaja dalam risalah ini dan sudahlah kami ringkaskan dan membilangnya secara ringkas dan sesiapa yang hendak mengetahui lebih jauh silalah lihat kitab-kitab yang mengenainya

Setelah selesai menyebut jenis-jenis ilmu, ketahuilah anda dengan sesungguhnya bahawa tiap-tiap ilmu ini memerlukan beberapa syarat supaya dia terukit pada jiwa-jiwanya para penentutnya. Oleh itu perlulah diketahui pula mengenai cara-cara mendapatkan ilmu-ilmu ini seperti yang akan dinyatakan seterusnyai[Cara dan Kaedah Mendapatkan Ilmu]

Ringkasan Fasal Di Atas

Setelah membincangkan jenis-jenis ilmu itu (dalam fasal bahagian-bahagian ilmu), Imam Ghazali menyebut pula tentang Ilmu Tasauf sebagai suatu ilmu yang tersendiri. Walau bagaimanapun is berasal dari Ilmu 'Aqli itu juga. Ilmu 'Aqli ini sebagai asasnya sahaja. Yang melahirkan Ilmu Tasauf itu secara langsung ialah ilmu tentang cara-cara beramal yang disertakan dengan amalan(ibadat). Ilmu tentang cara-cara beramal itu adalah suatu bahagian daripada Ilmu Syari'i. Jadi Ilmu Tasauf itu selain dari bersangkut dengan Ilmu 'Aqli ia juga bersangkut dengan Ilmu Syari'i. Gabungan dua bahagian ilmu inilah yang melahirkan Ilmu Tasauf. Dengan kata lain Paduan "Ilmu Tentang Cara-cara Beramal" dan "Ilmu Hasil Daripada Amalan" itulah dinamakan "ILMU TASAUF" Tetapi asal Ilmu Tasauf ini lebih jauh lagi perbincangannya yang melibatkan ilmu yang khas yang melahirkan hal-ehwal ilmu mereka yang tidak akan ditemui oleh mereka yang tidak mengikuti disiplin pengajiannya.

Inilah asal dan kedudukan Ilmu Tasauf yang hebat dan istimewa

Khatamul Auliya’

Imam at-Tairmidzy al-Hakim, seorang filosuf agung dan Sufi terbesar di zamannya pernah menulis tentang Khatamul Auliya’ (Pamungkas para wali), sebagai konsep mengembangkan pamungkas para Nabi (Khatimul Anbiya’). Ibu

Araby dalam kitabnya yang paling komprehensif sepanjang zaman, Al-Futuhatul Makiyyah. Disanalah Ibnu Araby menjawab 155 pertanyaan dalam Khatamul Auliya’-nya At-Tirmidy. Dalam pertanyaan pertama berbunyi:

Berapakah Manazil (tempat pijakan ruhani) para Auliya’?
Ibnu Araby menjawab: Ketahuilah bahwa manazil Auliya’ ada dua macam. Pertama bersifat Inderawi (hissiyah) dan kedua bersifat Maknawy. Posisi pijakan ruhani (manzilah) yang bersifat inderawi, adalah syurga, walau pun di syurga itu ada seratus jumlah derajatnya. Sedangkan manzilah mereka di dunia yang bersifat inderawi adalah ahwal mereka yang seringkali melahirkan sesuatu yang luar biasa. Diantara mereka ada ditampakkan oleh Allah seperti Wali-wali Abdal dan sejenisnya. Ada juga yang tidak ditampakkan seperti kalangan Wali Malamatiyah serta para kaum ‘Arifin yang agung, jumlah pijakan mereka lebih dari 100 tempat pijakan ruhani. Setiap masing-masing tempat itu berkembang menjadi sekian tempat yang begitu banyak. Demikian pijakan ruhani mereka yang bersifat inderawi di dua alam (dunia dan akhirat).

Sedangkan yang bersifat Maknawy dalam dimensi-dimensi kema’rifatan, maka manzilah mereka 248 ribu tempat pijakan ruhani hakiki yang tidak dapat diraih oleh ummat-ummat sebelum Nabi kita Muhammad SAW, dengan rasa ruhani yang berbeda-beda, dan masing-masing rasa ruhani memiliki rasa yang spesial yang hanya diketahui oleh yang merasakan.

Jumlah tersebut tersari dalam empat maqamat: 1) Maqam Ilmu Ladunny, 2) Maqam Ilmu Nur, 3) Maqam Ilmu al-Jam’u dan at-Tafriqat, 4) Maqam Ilmu Al-Kitabah al-Ilahiyyah. Diantara Maqamat itu adalah maqam-amaqam Auliya’ yang terbagi dalam 100 ribu lebih maqam Auliya, dan masing-masing masih bercabang banyak, yang bisa dihitung, namun bukan pada tempatnya mengurai di sini.

Mengenai Ilmu Ladunny berhubungan dengan nunasa-nuansa Ilahiyah dan sejumlah serapannya berupa Rahmat khusus. Sedangkan Ilmu Nur, tampak kekuatannya pada cakrawala ruhani paling luhur, ribuan Tahun Ilahiyah sebelum lahirnya Adam as. Sementara Ilmu Jam’ dan Tafriqah adalah Lautan Ilahiyah yang meliputi secara universal, dimana Lauhul Mahfudz sebagai abian dari Lautan itu. Dari situ pula melahirkan Akal Awal, dan seluruh cakrawala tertinggi mencerap darinya. Dan sekali lagi, para Auliya selain ummat ini tidak bisa mencerapnya. Namun diantara para Auliya’ ada yang mampu meraih secara keseluruhan ragam itu, seperti Abu Yazid al-Bisthamy, dan Sahl bin Abdullah, serta ada pula yang hanya meraih sebagian. Para Auliya’ di kalangan ummat ini dari perspektif pengetahuan ini ada hembusan ruh dalam lorong jiwanya, dan tak ada yang sempurna kecuali dari Auliya’ ummat ini sebagai pemuliaan dan pertolongan Allah kepada mereka, karena kedudukan agung Nabi mereka Sayyidina Muhammad SAW.

Di dalam pengetahuan tersebut tersembunyi rahasia-rahasia ilmu pengetahuan yang sesungguhnya berada dalam tiga pijakan dasar ruhani pengetahuan: 1) Pengetahuan yang berhubungan dengan Ilahiyyah, 2) Pengetahuan yang berhubungan dengan ruh-ruh yang luhur, dan 3) Pengetahuan yang berhubungan dengan maujud-maujud semesta.
Yang berhubungan dengan ilmu ruh-ruh yang luhur menjadi beragam tanpa adanya kemustahilan kontradiktif. Sedangkan yang berhubungan dengan maujud alam beragam, dan memiliki kemustahilan dengan kontradiksi kemustahilannya.

Jika pengetahuan terbagi dalam tiga dasar utama itu, maka para Auliya’ juga terbagi dalam tiga lapisan: Lapisan Tengah (Ath-Thabaqatul Wustha), memiliki 123 ribu pijakan ruhani, dan 87 manzilah utama, yang menjadi sumber serapan dari masing-masing manzilah yang tidak bisa dibatasi, karena terjadinya interaksi satu sama lainnya, dan tidak ada yang meraih manfaatnya kecuali dengan Rasa Khusus. Sementara lapisan yang sisanya, (dua lapisan) muncul dengan pakaian kebesaran dan sarung keagungan. Hanya saja keduanya yang menggunakan sarung keagungan itu memiliki mazilah lebih dari 123 ribu itu. Sebab pakaian kebesaran merupakan penampakan dari AsmaNya Yang Maha Dzahir, sedangkan sarungnya adalah penampakan dari AsmaNya Yang Maha Batin. Yang Dzahir adalah asal tonggaknya, dan Yang Batin adalah karakter baru, dimana dengan kebaruannya muncullah pijakan-pijakan ruhani (manazil) ini.

Cabang senantiasa menjadi tempatnya buah. Maka apa yang ditemukan pada cabang itu merupakan sesuatu yang tidak ditemukan dalam tonggaknya, yaitu buah. Walaupun dua cabang di atas itu munculnya dari satu tonggak utamanya yaitu AsdmaNya Yang Maha Dzahir, tetapi hukumnya berbeda. Ma’rifat kita kepada Tuhan, muncul setelah kita mengenal diri kita, sebab itu “Siapa yang kenal dirinya, kenal Tuhannya”. Walaupun wujud diri kita sesungguhnya merupakan cabang dari dari Wujug Rabb. Wujud Rabb adalah tonggal asal, dan wujud hamba adalah cabang belaka. Dalam Martabat bisa akan mendahului, sehingga bagiNya ada Nama Al-Awwal, dan dalam suatu martabat diakhirkan, sehingga ada Nama Yang Maha Akhir. Disatu sisi dihukumi sebagai Asal karena nisbat khusus, dan dilain sisi disehukumi sebagai Cabang karena nisbat yang lain. Inilah yang bisa dinalar oleh analisa akal. Sedangkan yang dirasakan oleh limpahan Ma’rifat Rasa, maka Dia adalah Dzahir dari segi bahwa Dia adalah Batin, dan Dia adalah Batin dari segi kenyataanNya Yang Dzahir, dan Awwal dari kenyataanNya adalah Akhir, demikian pula dalam Akhir.

Swedangkan jumlah para Auliya yang berada dalam manzilah-manzilah itu, ada356 sosok, yang mereka itu adala dalam kalbu Adam, Nuh, Ibrahim, Jibril, Mikail, dan Israfil. Dan ada 300, 40, 7, 5, 3 dan 1. Sehingga jumlah kerseluruhan 356 tokoh. Hal ini menurut kalangan Sufi karena adanya hadits yang menyebut demikian.

Sedangkan menurut thariqat kami dan yang muncul dari mukasyafah, maka jumlah keseluruhan Auliya yang telah kami sebut diatas di awal bab ini, sampai berjumlah 589 orang. Diantara mereka ada 1 orang, yang tidak mesti muncul setiap zaman, yang disebut sebagai al-Khatamul Muhammady, sedangkan yang lain senantiasa ada di setiap zaman tidak berkurang dan tidak bertambah. Al-Khatamul Muhammady pada zaman ini (zaman Ibnu Araby, red), kami telah melihatnya dan mengenalnya (semoga Allah menyempurnakan kebahagiaannya), saya tahu ia ada di Fes (Marokko) tahun 595 H.

Sementara yang disepakati kalangan Sufi, ada 6 lapisan para Auliya’, yaitu para Wali : Ummahat, Aqthab; A’immah; Autad; Abdal; Nuqaba’; dan Nujaba’.

Pada pertanyaan lain : Siapa yang berhak menyandang Khatamul Auliya’ sebagaimana gelar yang disandang Khatamun Nubuwwah oleh Nabi Muhammad SAW.? Ibnu Araby menjawab:

Al-Khatam itu ada dua: Allah menutup Kewalian (mutlak), dan Allah menutup Kewalian Muhammadiyah. Penutup Kewalian mutlak adalah Isa Alaihissalaam. Dia adalah Wali dengan Nubuwwah Mutlak, yang kelak turun di era ummat ini, dimana turunnya di akhir zaman, sebagai pewaris dan penutup, dimana tidak ada Wali dengan Nubuwwah Mutlak setelah itu. Ia disela oleh Nubuwwah Syari’at dan Nubuwwah Risalah. Sebagaimana Nabi Muhammad SAW sebagai Penutup Kenabian, dimana tidak ada lagi Kenabian Syariat setelah itu, walau pun setelah itu masih turun seperti Isa, sebagai salah satu dari Ulul ‘Azmi dari para Rasul dan Nabi mulia. Maka turunnya Isa sebagai Wali dengan Nubuwwah mutlaknya, tertapi aturannya mengikuti aturan Nabi Muhammad SAW, bergabung dengan para Wali dari ummat Muhammad lainnya. Ia termasuk golongan kita dan pemuka kita.

Pada mulanya, ada Nabi, yaitu Adam, AS.Dan akhirnya juga ada Nabi, yaitu Isa, sebagai Nabi Ikhtishah (kekhususan), sehingga Isa kekal di hari mahsyar ikut terhampar dalam dua hamparan mahsyar. Satu Mahsyar bersama kita, dan satu mahsyar bersama para Rasul dan para Nabi.

Adapun Penutup Kewalian Muhammadiyah, saat ini (era Ibnu Araby) ada pada seorang dari bangsa Arab yang memiliki kemuliaan sejati. Saya kenal ditahun 595 H. Saya melihat tanda rahasia yang diperlihatkan oleh Allah Ta’ala pada saya dari kenyataan ubudiyahnya, dan saya lihat itu di kota Fes, sehingga saya melihatnya sebagai Khatamul Wilayah darinya. Dia adalah Khatamun Nubuwwah Mutlak, yang tidak diketahui banyak orang. Dan Allah telah mengujinya dengan keingkaran berbagai kalangan padanya, mengenai hakikat Allah dalam sirrnya.

Sebagaimana Allah menutup Nubuwwah Syariat dengan Nabi Muhammad SAW, begitu juga Allah menutup Kewalian Muhammady, yang berhasil mewarisi Al-Muhammadiyah, bukan diwarisi dari para Nabi. Sebab para Wali itu ada yang mewarisi Ibrahim, Musa, dan Isa, maka mereka itu masih kita dapatkan setelah munculnya Khatamul Auliya'’Muhammady , dan setelah itu tidak ada lagi Wali pada Kalbu Muhammad SAW. Inilah arti dari Khatamul Wilayah al-Muhammadiyah. Sedangkan Khatamul Wilayah Umum, dimana tidak ada lagi Wali setelah itu, ada pada Isa Alaissalam. Dan kami menemukan sejumlah kalangan sebagai Wali pada Kalbu Isa As, dan sejumlah Wali yang berada dalam Kalbu para Rasul lainnya.
Wallahu A’lam bish-Shawab.
sufinews.com

TEH POCI ALA SUFI

TEH ini ini benar-benar menyegarkan jiwa, membuang kolesterol dalam hati, menyemangatkan ibadah, dan membuat hati husnudzon dan optimis kepada Rahmat allah swt.

Itulah yang disajikan dalam menu Kafe Sufi. Semua pelanggan biasanya selalu memesan teh ini, baik diminum sesudah menikmati menu lain, atau sebagai penghantar. Selain baru dipetik dari Kebun Ma’rifat, teh ini disajikan dengan tatacara yang unik. Para pelayannya dan penyedu the ini, diwajibkan berwudhu lebih dahulu, dan setiap gerakan seduanya membaca Basmalah, sembari terus berdzikir dalam hatinya.

Sekali kita menyeruput the ini, kita ingin terus bertambah, dan terus bertambah. Anehnya semakin banyak para penikmat the ini, kebon Tehnya juga semakin subur dan makmur.
Mari kita lihat sejenak sang koki sedang menyiapkan the poci ini:

Daun-daun teh segar dari Kebun Ma’rifat, ternyata cukup beragam. Ada daun yang mengembang dengan nama daun taubat, daun khauf dan raja’, dan daun tafakkur. Lalu daun satu lagi dipetik dengan tangan yang disertai hasrat tawakkal, ikhlas dan ridho. Kemudian ada daun teh yang dinamakan daun zuhud, qona’aah dan syukur.

Daun-daun itu dimasak di atas tungku istiqomah dan dibakar oleh api cobaan. Ketika mulai mendidih airnya membunyikan gemuruh dzikrullah disana. Setelah itu dituangkan di atas gelas-gelas cinta (mahabbah), dan kelak siap diminum melalui bibir kerinduan Ilahi, disertai rasa syukur tiada tara.
Semakian diminum, semakin dahaga, semakin tiada tara dalam fana’nya hamba. Karena Baqo’Nya ada dihadapannya. Seteguk teh poci ala sufi ini, entah bagaimana rasanya.

Silahkan mencoba sendiri...

Minggu, 06 Juni 2010

Karang Jengkol

DESA CIHONJE
- Ciwaras
- Jingkang
- Cirebah
- Pengasinan
- Curug Lumpang
- Cinganguk
- Babakan Lor
- Babakan Kidul
- Cihonje
- Ciuyah
- Karang Jengkol
-Cogreg